STORY
14| PENGAKUAN SEORANG GURU TAMAN KANAK-KANAK
Pada tahun 2005 silam, aku baru saja
pindah dari Fukuoka menuju ke Tokyo untuk mengadu nasib di kota besar tersebut.
Aku pindah ke sebuah perumahan yang tidak terlalu bagus namun sangat dekat
dengan lokasi kerja yang baru. Biayanya yang murah menjadi alasan utama untuk
menetap disana.
Sebagai seorang pendatang baru ke kota
besar, aku masih harus mencoba menyesuaikan diri dengan orang-orang disana. Dan
pada pertengahan bulan Agustus 2005 silam, akhirnya aku bisa beradaptasi dan
mendapatkan panggilan ke sebuah taman kanak-kanak tidak jauh dari apartemen-ku.
Taman kanak-kanak HIMAWARI merupakan
sebuah sekolah yang cukup sederhana, murid-nya beserta guru hanya beberapa
orang saja. Aku sangat menyukai anak-anak mengingat tahun depan aku akan
menikah dengan seorang pengusaha muda bernama Sato Kazuma.
Pengalaman yang tidak lazim menjadikan
pengalaman yang tidak pernah aku lupakan seumur hidup-ku. Ya, di sekolah
tersebut terdapat beberapa aturan yang tidak wajar bagi-ku namun aku harus
mematuhi kalau tidak akan dikeluarkan dari sana.
Aturan yang paling aku ingat hingga
saat ini adalah aturan yang mengharuskan semua guru selalu memakai wewangian yang
cukup menyengat namun tidak mengganggu murid yang lain-nya. Selain itu, ketika
pertama kali masuk meskipun kelas masih kosong harus mengetuk pintu sebanyak 3
kali. Semua tata letak siswa dan bangku-nya sudah diatur namun ada beberapa
kursi yang diharuskan kosong.
Kau tahu? Aku sangat tidak menyukai
hal-hal yang tidak bersifat logika seperti itu. Namun para guru senior-ku
bahkan kepala dan wakil sekolah harus mematuhi aturan yang tidak tertulis
tersebut.
Pengalaman aneh pertama kali aku
rasakan saat sedang memeriksa hasil kesenian kelas-ku. Awal-nya tidak terjadi
apapun hingga sampai pukul 12 siang, aku merasakan ada beberapa kehadiran di
sekitar-ku. Aku bahkan dapat merasakan hembusan hangat di leher-ku.
Salah seorang siswa di kelas-ku, Ai
Yamamori mengatakan bahwa aku sedang diawasi oleh 3 orang tambahan dan sedang
mengamati ketika aku sedang memeriksa hasil kesenian anak-anak. Tidak hanya
Ai-chan saja, semua teman sekelas-nya juga melihat hal yang sama dengan
diri-nya kecuali aku seorang.
Karena aku merasa terganggu dengan
kejadian aneh tersebut, aku segera menghadap ke kepala sekolah. Beliau malah
berkata “anak-anak itu tidak melakukan hal yang buruk pada Anda , benar-kan Bu
Akiyama?” sembari tersenyum seolah-olah sudah terbiasa dengan laporan seperti itu.
Jawaban yang aku dapat dari kepala
sekolah sangat mengecewakan namun aku berusaha bertahan hingga hari pertama-ku
berakhir. Sepulang sekolah, aku dan 2 guru yang lain-nya sedang menunggu para
orang tua menjemput anak-anak mereka seperti biasa-nya.
Saat itu aku menyadari Ai-chan yang
sedari tadi memperhatikan beberapa mainan balok yang sedang berserakan. Aku
berkata “Ai-chan ada apa?” tanya-ku sembari memperhatikan apa yang
diperhatikan-nya.
“Ao-chan , Mi-chan, dan Ta-kun sedang
mencoba bermain balok kesukaan mereka tapi tidak bisa..”, mata Ai-chan terus
memperhatikan balok mainan yang berserakan dimana-mana tersebut.
“eh? Siapa?” tanya-ku sembari mencoba
mencerna apa yang dikatakan oleh Ai-chan barusan.
-HAAAAAAAAAAAH
Lagi, aku merasakan hembusan napas yang
hangat di wajah dan tengkuk-ku. Aku merasakan ada perbedaan udara dari yang
sebelumnya, kali ini lebih dingin daripada siang tadi.
Wajah Ai-chan terlihat tersenyum dengan
riang dan berkata “bu Akiyama, sekarang mereka mencoba bermain dengan-mu loh…”
Aku langsung berdiri dan berkata
“Ai-chan cukup! Jangan buat ibu marah ya!!! Di dunia ini tidak ada namanya
setan atau semacam-nya!!”. Tanpa sadar aku mengatakan sesuatu yang kasar kepada
anak kecil yang lugu tadi. Aku melihat wajah Ai-chan berubah menjadi takut,
semua anak-anak, orang tua dan para guru terlihat memandang-ku dengan aneh.
Hari berikutnya, kali ini para siswa di
kelas-ku terlihat sangat diam. Mereka saling memandang satu sama lain lalu
melihat-ku dengan sedikit ketakutan.
“a-nu, ibu mulai absen seperti biasa
ya…”
Aku langsung mengambil buku absensi
kelas dan mulai memanggil nama mereka satu persatu. Aku menyadari ada nama-nama
yang tidak asing bagi-ku.
“Aoi Nanahira-chan… , Mitsuki
Hana-chan…, Takumi Sugihara-kun…?”
“mereka yang tidak hadir semalam
ya---?”
Mata-ku terbelalak melihat ada 3 sosok
arwah anak-anak sedang duduk sembari menatap-ku dengan dingin. Mereka
masing-masing mengisi bangku yang masih kosong.
Semua anak-anak di dalam kelas mendadak
menjerit histeris dan berlari berhamburan keluar kelas. Semenjak kejadian itu
beberapa anak yang duduk di dekat ke 3 bangku kosong tadi mendadak sakit.
Di dalam ruang guru, aku merasa sangat
bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Namun aku tidak tahu harus berbuat
apa-apa. Lalu Bu Maoka yang selalu memberikan nasehat sebagai senior kepada-ku
mulai menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
“3 tahun lalu, di TK ini telah terjadi
kebakaran hebat akibat arus pendek sehingga membakar kelas yang saat ini sedang
kau wakili…
Aoi, Mitsuki dan Takumi terjebak di
dalam kelas karena saat kejadian mereka sedang bermain balok kayu. Mereka
bertiga tewas terpanggang sebelum api berhasil di padamkan.
Semenjak saat itu, mereka selalu berada
di dalam kelas mengikuti pelajaran seperti biasanya. Namun. Mereka selalu menyembunyikan
wujud mereka karena tidak mau mengusik seperti apapun. Mereka hanya ingin
belajar dan bermain seperti biasa-nya.” Kata Bu Maoka sembari menunjukkan rasa
penyesalan terhadap kejadian tersebut.
“tapi mereka bilang semua bisa melihat
mereka-kan?”
Bu Maoka menggelengkan kepala-nya lalu
dia berkata “tidak, Ai-chan saja yang bisa melihat mereka sedangkan yang
lain-nya hanya merasakan hawa keberadaan mereka saja…”
“pantasan mereka semua kaget kecuali
Ai-chan” gumam-ku.
Menurut Bu Maoka, ketiga arwah anak-anak
itu mulai merasa sangat terganggu karena tidak seorangpun yang mau bermain
mereka seperti 3 tahun yang lalu. Mereka pikir dengan menampakkan wujud maka
semua anak-anak akan bermain dengan mereka.
Di dalam kelas, aku mencoba mengintip
kelas yang sudah dimatikan lampu. Aku melihat anak-anak itu mulai beranjak dari
duduk mereka dan mencoba bermain dengan balok kayu. Tangan mereka yang kecil
dan transparan tidak dapat memegang kayu tersebut.
“mereka mengulangi kejadian sesaat
sebelum kebakaran ya…” pikir-ku.
Jauh dari hati-ku mengatakan bahwa
ingin sekali menenangkan arwah mereka namun sebagian dari diriku mengatakan
untuk tidak campur dalam hal tidak masuk akal seperti ini.
Sesaat aku tidak memperhatikan mereka,
saat aku melihat jendela kelas, aku menyaksikan wajah ketiga anak yang hangus
terbakar itu menempel tepat di hadapan-ku sembari tersenyum menyeriangi.
Tanpa sadar aku terkulai lemas dan
tersipu sembari menatap ketiga anak itu sembari berusaha melarikan diri dari
sana secepat mungkin.
Ketika aku mulai sadar, Bu Maoka dan
kepala sekolah langsung menopang-ku ke UkS dan mencoba menenangkan jantung-ku
yang mendadak berhenti sesaat.
Keesokan hari-nya, aku dan para murid
serta guru mencoba menenangkan arwah mereka dengan menganggap mereka bagian
dari kelas tersebut.
Begitulah, aku dan para guru yang hanya
merasakan keberadaan mereka, kini kami menyaksikan arwah mereka dengan jelas.
Meskipun demikian, kami mencoba seperti biasa yang dilakukan sebelum-nya. Dan
beberapa bulan kemudian kelas-ku kembali seperti biasa-nya tanpa kehadiran
mereka. Namun sesekali mereka berinteraksi dengan menggerakkan bangku dan benda
lain-nya.
Semenjak aku mengenal arwah anak-anak
itu, aku sebagai guru dan orang tua mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu
jangan pernah mengurangi pengawasan anak-anak. Terakhir aku mendapatkan
informasi bahwa Aoi-chan sedang bermain di dekat saklar listrik dan menyentuh kabel yang terkoyak sehingga mengakibatkan
kebakaran 3 tahun yang lalu.
0 komentar:
Posting Komentar