Rabu, 26 Oktober 2016

A Tale of Scary Story - Chapter 14

STORY 14| PENGAKUAN SEORANG GURU TAMAN KANAK-KANAK
Pada tahun 2005 silam, aku baru saja pindah dari Fukuoka menuju ke Tokyo untuk mengadu nasib di kota besar tersebut. Aku pindah ke sebuah perumahan yang tidak terlalu bagus namun sangat dekat dengan lokasi kerja yang baru. Biayanya yang murah menjadi alasan utama untuk menetap disana.

Sebagai seorang pendatang baru ke kota besar, aku masih harus mencoba menyesuaikan diri dengan orang-orang disana. Dan pada pertengahan bulan Agustus 2005 silam, akhirnya aku bisa beradaptasi dan mendapatkan panggilan ke sebuah taman kanak-kanak tidak jauh dari apartemen-ku.

Taman kanak-kanak HIMAWARI merupakan sebuah sekolah yang cukup sederhana, murid-nya beserta guru hanya beberapa orang saja. Aku sangat menyukai anak-anak mengingat tahun depan aku akan menikah dengan seorang pengusaha muda bernama Sato Kazuma.

Pengalaman yang tidak lazim menjadikan pengalaman yang tidak pernah aku lupakan seumur hidup-ku. Ya, di sekolah tersebut terdapat beberapa aturan yang tidak wajar bagi-ku namun aku harus mematuhi kalau tidak akan dikeluarkan dari sana.

Aturan yang paling aku ingat hingga saat ini adalah aturan yang mengharuskan semua guru selalu memakai wewangian yang cukup menyengat namun tidak mengganggu murid yang lain-nya. Selain itu, ketika pertama kali masuk meskipun kelas masih kosong harus mengetuk pintu sebanyak 3 kali. Semua tata letak siswa dan bangku-nya sudah diatur namun ada beberapa kursi yang diharuskan kosong.

Kau tahu? Aku sangat tidak menyukai hal-hal yang tidak bersifat logika seperti itu. Namun para guru senior-ku bahkan kepala dan wakil sekolah harus mematuhi aturan yang tidak tertulis tersebut.

Pengalaman aneh pertama kali aku rasakan saat sedang memeriksa hasil kesenian kelas-ku. Awal-nya tidak terjadi apapun hingga sampai pukul 12 siang, aku merasakan ada beberapa kehadiran di sekitar-ku. Aku bahkan dapat merasakan hembusan hangat di leher-ku.

Salah seorang siswa di kelas-ku, Ai Yamamori mengatakan bahwa aku sedang diawasi oleh 3 orang tambahan dan sedang mengamati ketika aku sedang memeriksa hasil kesenian anak-anak. Tidak hanya Ai-chan saja, semua teman sekelas-nya juga melihat hal yang sama dengan diri-nya kecuali aku seorang.

Karena aku merasa terganggu dengan kejadian aneh tersebut, aku segera menghadap ke kepala sekolah. Beliau malah berkata “anak-anak itu tidak melakukan hal yang buruk pada Anda , benar-kan Bu Akiyama?” sembari tersenyum seolah-olah sudah terbiasa dengan laporan seperti itu.

Jawaban yang aku dapat dari kepala sekolah sangat mengecewakan namun aku berusaha bertahan hingga hari pertama-ku berakhir. Sepulang sekolah, aku dan 2 guru yang lain-nya sedang menunggu para orang tua menjemput anak-anak mereka seperti biasa-nya.

Saat itu aku menyadari Ai-chan yang sedari tadi memperhatikan beberapa mainan balok yang sedang berserakan. Aku berkata “Ai-chan ada apa?” tanya-ku sembari memperhatikan apa yang diperhatikan-nya.

“Ao-chan , Mi-chan, dan Ta-kun sedang mencoba bermain balok kesukaan mereka tapi tidak bisa..”, mata Ai-chan terus memperhatikan balok mainan yang berserakan dimana-mana tersebut.

“eh? Siapa?” tanya-ku sembari mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Ai-chan barusan.

-HAAAAAAAAAAAH

Lagi, aku merasakan hembusan napas yang hangat di wajah dan tengkuk-ku. Aku merasakan ada perbedaan udara dari yang sebelumnya, kali ini lebih dingin daripada siang tadi.

Wajah Ai-chan terlihat tersenyum dengan riang dan berkata “bu Akiyama, sekarang mereka mencoba bermain dengan-mu loh…”

Aku langsung berdiri dan berkata “Ai-chan cukup! Jangan buat ibu marah ya!!! Di dunia ini tidak ada namanya setan atau semacam-nya!!”. Tanpa sadar aku mengatakan sesuatu yang kasar kepada anak kecil yang lugu tadi. Aku melihat wajah Ai-chan berubah menjadi takut, semua anak-anak, orang tua dan para guru terlihat memandang-ku dengan aneh.

Hari berikutnya, kali ini para siswa di kelas-ku terlihat sangat diam. Mereka saling memandang satu sama lain lalu melihat-ku dengan sedikit ketakutan.
“a-nu, ibu mulai absen seperti biasa ya…”

Aku langsung mengambil buku absensi kelas dan mulai memanggil nama mereka satu persatu. Aku menyadari ada nama-nama yang tidak asing bagi-ku.

“Aoi Nanahira-chan… , Mitsuki Hana-chan…, Takumi Sugihara-kun…?”
“mereka yang tidak hadir semalam ya---?”

Mata-ku terbelalak melihat ada 3 sosok arwah anak-anak sedang duduk sembari menatap-ku dengan dingin. Mereka masing-masing mengisi bangku yang masih kosong.
Semua anak-anak di dalam kelas mendadak menjerit histeris dan berlari berhamburan keluar kelas. Semenjak kejadian itu beberapa anak yang duduk di dekat ke 3 bangku kosong tadi mendadak sakit.

Di dalam ruang guru, aku merasa sangat bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Namun aku tidak tahu harus berbuat apa-apa. Lalu Bu Maoka yang selalu memberikan nasehat sebagai senior kepada-ku mulai menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

“3 tahun lalu, di TK ini telah terjadi kebakaran hebat akibat arus pendek sehingga membakar kelas yang saat ini sedang kau wakili…
Aoi, Mitsuki dan Takumi terjebak di dalam kelas karena saat kejadian mereka sedang bermain balok kayu. Mereka bertiga tewas terpanggang sebelum api berhasil di padamkan.

Semenjak saat itu, mereka selalu berada di dalam kelas mengikuti pelajaran seperti biasanya. Namun. Mereka selalu menyembunyikan wujud mereka karena tidak mau mengusik seperti apapun. Mereka hanya ingin belajar dan bermain seperti biasa-nya.” Kata Bu Maoka sembari menunjukkan rasa penyesalan terhadap kejadian tersebut.

“tapi mereka bilang semua bisa melihat mereka-kan?”
Bu Maoka menggelengkan kepala-nya lalu dia berkata “tidak, Ai-chan saja yang bisa melihat mereka sedangkan yang lain-nya hanya merasakan hawa keberadaan mereka saja…”

“pantasan mereka semua kaget kecuali Ai-chan” gumam-ku.
Menurut Bu Maoka, ketiga arwah anak-anak itu mulai merasa sangat terganggu karena tidak seorangpun yang mau bermain mereka seperti 3 tahun yang lalu. Mereka pikir dengan menampakkan wujud maka semua anak-anak akan bermain dengan mereka.

Di dalam kelas, aku mencoba mengintip kelas yang sudah dimatikan lampu. Aku melihat anak-anak itu mulai beranjak dari duduk mereka dan mencoba bermain dengan balok kayu. Tangan mereka yang kecil dan transparan tidak dapat memegang kayu tersebut.
“mereka mengulangi kejadian sesaat sebelum kebakaran ya…” pikir-ku.

Jauh dari hati-ku mengatakan bahwa ingin sekali menenangkan arwah mereka namun sebagian dari diriku mengatakan untuk tidak campur dalam hal tidak masuk akal seperti ini.

Sesaat aku tidak memperhatikan mereka, saat aku melihat jendela kelas, aku menyaksikan wajah ketiga anak yang hangus terbakar itu menempel tepat di hadapan-ku sembari tersenyum menyeriangi.

Tanpa sadar aku terkulai lemas dan tersipu sembari menatap ketiga anak itu sembari berusaha melarikan diri dari sana secepat mungkin.

Ketika aku mulai sadar, Bu Maoka dan kepala sekolah langsung menopang-ku ke UkS dan mencoba menenangkan jantung-ku yang mendadak berhenti sesaat.
Keesokan hari-nya, aku dan para murid serta guru mencoba menenangkan arwah mereka dengan menganggap mereka bagian dari kelas tersebut.

Begitulah, aku dan para guru yang hanya merasakan keberadaan mereka, kini kami menyaksikan arwah mereka dengan jelas. Meskipun demikian, kami mencoba seperti biasa yang dilakukan sebelum-nya. Dan beberapa bulan kemudian kelas-ku kembali seperti biasa-nya tanpa kehadiran mereka. Namun sesekali mereka berinteraksi dengan menggerakkan bangku dan benda lain-nya.


Semenjak aku mengenal arwah anak-anak itu, aku sebagai guru dan orang tua mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu jangan pernah mengurangi pengawasan anak-anak. Terakhir aku mendapatkan informasi bahwa Aoi-chan sedang bermain di dekat saklar listrik dan menyentuh kabel yang terkoyak sehingga mengakibatkan kebakaran 3 tahun yang lalu.

0 komentar:

Posting Komentar