Jumat, 28 Oktober 2016

A Tale of Scary Story - Chapter 17

STORY 17| IBU
Nama-ku Aya Mizuki, 16 tahun. Aku saat ini sedang berada tahun kedua-ku di SMA FURIKANASHI. Pada akhir liburan musim panas lalu, aku telah kehilangan mama-ku yang tewas dalam kecelakaan beruntun ketika pulang kerja sore hari-nya.

Saat itu, aku sedang bertengkar hebat dengan-nya hanya karena persoalan yang sepele. Ya, ibu-ku menolak atas bantuan-ku dalam keperluan keseharian. Ibu-ku menolak dengan tegas ketika berhubungan dengan bekerja paruh waktu sepulang sekolah.

Sebelum aku meminta maaf atas kesalahan-ku, ibu-ku sudah pergi meninggalkan diriku sendirian. Semenjak Ayah meninggal, Ibu selalu bekerja keras untuk memenuhi kehidupan aku dan adik-ku yang masih bersekolah taman kanak-kanak.

Suatu hari, aku melihat Ayumu selalu melihat ke sudut kamar-nya saat tengah malam. Ketika aku menanyakan apa yang dia lihat , Ayumu malah tidak berani mengucapkan-nya dan selalu menggelengkan kepala-nya.

Keanehan tidak hanya itu, Ayumu sering mendekati-ku sambil menangis dan mata-nya selalu melihat sudut ruangan, entah itu ruang tamu, dapur dan sebagainya. Biasanya, ketika Ayumu mendadak ketakutan, ibu selalu memeluk-nya dan menyanyikan lagu kesukaan Ayumu hingga ia tenang kembali.

Karena aku yang paling tua di rumah saat ini, aku menggendong Ayumu dan mencoba melakukan hal yang sama seperti almarhum ibu-ku. Aku tidak sebaik ibu namun sebagai Kakak, aku harus menjadi pengganti ibu untuk Ayumu.

Ketika Ayumu sudah kembali tenang, aku menanyakan apa yang terjadi sehingga dia selalu ketakutan saat melihat sudut ruangan.

“A-chan, kenapa kau selalu ketakutan melihat sudut itu sih? Coba deh kasih tahu kakak kenapa?”
“aku melihat seorang perempuan gepeng sedang berdiri memperhatikan-ku… , kak aku takut…” kata Ayumu sembari memegang tangan-ku dengan kuat.

“perempuan gepeng? Maksud A-chan itu pengemis ya? Kok bisa masuk rumah sih? Malam hari lagi pula?” kata-ku terheran-heran.

Ayumu kembali terdiam dan tidak mau membicarakan apapun. Malam berikutnya, Aku mencoba mengecek kamar Ayumu untuk membuktikan perkataan-nya benar atau tidak. Aku melihat Ayumu sudah tertidur pulas, karena tidak mau mengganggu, aku hanya duduk disamping-nya sembari menatap sudut ruangan kamar.

Hingga jam 12 malam, aku tidak melihat perempuan gepeng yang dibicarakan oleh Ayumu. Tiba-tiba, Ayumu terbangun dan melihat ke sudut ruang dekat meja belajar-nya.
Ayumu menjerit ketakutan dengan cepat aku menghidupkan lampu dan segera memeluk-nya dengan kuat. Kali ini aku dapat melihat apa yang dilihat oleh Ayumu. Di sudut kamar dekat meja belajar-nya, seorang perempuan dengan tubuh yang sudah remuk berlumuran darah berdiri melihat ke arah kami dengan tatapan mata yang kosong.

Kami berdua saling menatap perempuan gepeng itu hingga tanpa sadar pagi sudah tiba. Aku bertanya-tanya kenapa ada arwah yang mengerikan di dalam rumah ini. Aku mencoba meneliti lebih dalam lagi, hingga aku kembali mengingat kejadian akhir musim panas lalu.

Ya, ibu-ku meninggal dunia terlindas bersama dengan mobil yang dikendarai-nya. Mobil yang melindas-nya merupakan mobil alat berat yang melesat begitu saja menghantam mobil yang ada di depan-nya. Air mata-ku menetes tanpa aku sadari.

Ah, bodoh-nya aku. Kenapa aku harus takut karena yang kami lihat tadi malam bukan orang asing, melainkan Ibu kami yang selalu mengawasi Ayumu dengan baik. Aku teringat, perkataan ibu-ku jauh sebelum kejadian mengerikan itu.
Ibu-ku berkata “apapun yang terjadi ibu akan selalu mengawasi kalian… , karena ibu sangat sangat sayang kepada kalian berdua”.

Malam berikut-nya, sosok ibu-ku terus memperhatikan kegiatan kami di dalam rumah. Setiap aku melihat sudut ruangan, aku melihat arwah-nya berdiri mematung seolah-olah sedang mengawasi kami berdua.

Beberapa hari kemudian aku mengajak Ayumu mengunjungi makam keluarga dan meminta doa kepada dewa agar diberikan jalan menuju ke Nirwarna agar dapat lahir kembali dan bergabung dengan kami suatu saat nanti.



A Tale of Scary Story - Chapter 16

STORY 16| YAMAMBA
Sebagai seorang jurnalis paranormal di majalah JAPAN-NOWDAYS, aku bertanggung jawab akan kebenaran berita yang di terbitkan tiap minggu-nya. Nama-ku Shota Shinohara 23 tahun dan baru saja menikah pada akhir bulan Januari lalu. Aku mendengar dari seseorang yang mengatakan bahwa ada bahan berita yang sangat bagus untuk artikel-ku selanjutnya.

Dia mengatakan bahwa ada sebuah desa yang memiliki sebuah legenda yang disebut dengan Yamamba. Aku pernah mendengar-nya dari seorang teman dekat dan mengatakan bahwa dia ditolong oleh sosok misterius tersebut. Mendengar berita itu, jiwa jurnalis-ku memaksa untuk meneliti lebih jauh lagi.

Nama desa itu adalah Desa Fukuoka yang sangat jauh dari peradaban dunia moderen saat ini. Aku dan rekan satu tim dengan-ku mencoba menelusuri legenda Yamamba.
Kami pergi ke desa Fukuoka dengan mengendarai mobil kantor yang sengaja kami sewa untuk pergi kesana. Aku akan memperkenalkan rekan-ku padamu, Matsutaka Tetsuo sebagai seorang cameramen 24 tahun, Aibara Yumi 20 tahun sebagai asisten pribadi-ku dan satu orang sebagai supir serta sebagai ketua penanggung jawab perjalanan ini, Akai Toru, 30 tahun.

Untuk mencapai ke desa dari stasiun membutuhkan waktu kurang lebih 2 setengah jam. Seperti desa yang jauh dari peradaban moderen, desa ini sangat indah dengan berbagai macam perkebunan dan sawah yang terbentang luas di beberapa sudut desa. Dalam hati-ku sangat bersyukur bisa menyempatkan diri untuk meneliti di desa nan indah ini dan berharap mendapatkan berita yang layak untuk di terbitkan pada majalah harian kami.

Setelah kami mencapai di pintu desa, kami memutuskan jalan kaki sembari menikmati perjalanan kali ini. Aku dan tim-ku mencoba menanyakan perihal tentang Yamamba kepada warga lokal.

“Shota-san, ayo kita coba tanyakan pada paman itu yuk? “ kata Yumi dengan semangat. Aku melihat seorang lelaki paru baya yang umur-nya sekitar 30 tahun-an sedang mencangkul lahan pribadi-nya. Kami pun segera mendekati lelaki itu dan mencoba menanyakan perihal Yamamba di desa ini.

“permisi pak, kami boleh menanyakan sesuatu kepada Anda sebagai bahan referensi artikel? “ kata-ku sembari menunjukkan kartu pengenal yang kemudian diikuti lain-nya.
Lelaki itu terdiam sejenak, mata-nya melihat kami dengan tatapan yang curiga. Lalu dia melanjutkan kegiatan-nya tanpa menghiraukan sapaan kami.

“a-nu …” kata Ayumi mencoba membujuk lelaki itu.
“apakah bapak tahu tentang Yamamba? Kami sangat berterima kasih kalau bapak berkenan untuk menceritakan sedikit tentang-nya…” kata Ayumi melanjutkan pembicaraan-nya.

“kalian pergilah dari desa ini, dasar orang kota bodoh!” kata lelaki itu dengan kesal.
“ba-baik , tapi sebelumnya bisa tidak cerita sedikit saja tentang Yamamba?” kata Ayumi.

“tidak tahu aku! Cepatlah pergi dari hadapan-ku!” teriak lelaki tua itu sehingga terdengar dengan orang lain yang kebetulan melewati daerah itu,

Dengan kecewa kami pergi meninggalkan lelaki itu untuk mencegah terjadi kesalahpahaman diantara warga lokal desa ini.

Kami melanjutkan perjalanan lagi dan menanyakan kepada orang yang berbeda. Namun entah kenapa ketika kami menanyakan yamamba kepada mereka, wajah mereka menjadi pucat lalu mengusir kami dengan kasar. Aku sempat berpikir bahwa kami mungkin akan menemukan sesuatu yang berbahaya kalau kami lanjut penelitian ini.
Namun ketua penanggung jawab perjalanan tidak mengizinkan kembali ke Tokyo sebelum mendapatkan hasil.

“tidak bisa, kita harus menyelesaikan tugas kita…., kau tahu? Berapa banyak dana yang dihabiskan hanya untuk perjalanan ini hah?” kata Toru dengan jengkel kepada-ku.
“tapi mau bagaimana lagi? Para penduduk disini sangat tidak ramah kepada kita semua? Apa karena kita orang kota makanya mereka bekerja sama untuk tidak membocorkan tentang Yamamba?” kata Tetsuo sembari membantingkan bekas rokok ke tanah.

Aku sendiri tidak dapat mengatakan apapun tentang masalah ini. Bagi kami ini merupakan pertama kalinya kami ditolak oleh para warga lokal seperti ini, berbeda dengan perjalanan sebelumnya. Lalu aku menyuruh Ayumi untuk menemukan tempat peristirahat agar kami bisa mendinginkan kembali kepala kami semua.

Matahari mulai naik dan udara panas mulai membuat kami semua gelisah. Emosi kami perlahan meluap dan mengendalikan amarah kami. Ayumi yang sedari tadi pergi mencari tempat peristirahat belum juga kembali. Panas terik mulai membuat pikiran kami menjadi sangat terganggu sehingga yang kami bisa lakukan hanya-lah duduk di masing-masing tempat yang terpisah.

Lalu dari kejauhan aku melihat Ayumi berlari sembari berteriak “semuanya, aku menemukan seseorang yang dapat membantu permasalahan kita!!!”
Setelah dia sudah sampai ke tempat peristirahat kami yang sementara, Ayumi dengan semangat berkata “dia adalah pendeta di desa ini. Dan yang paling mengejutkan adalah dia mengizinkan kita untuk tinggal di kuil sementara loh?”

Toru kemudian memerintahkan kami untuk segera pergi ke kuil yang dimaksud. Di kuil, kami disambut dengan baik oleh pendeta kuil tersebut. Pendeta itu menawarkan kami untuk beristirahat sejenak sembari menjawab pertanyaan atas legenda Yamamba.

“sejak dulu desa ini sangat menghormati Yamamba. Bagi kami Yamamba merupakan seorang dewi pelindung desa. Mereka tidak mau menjawab pertanyaan kalian karena di desa terdapat hukum yang mengharuskan mereka semua untuk diam” kata pendeta itu memulai cerita-nya.

“lalu larangan seperti apa itu, pak?” kata-ku dengan penasaran.
Awalnya pendeta itu merasa keberatan untuk menceritakan pada orang luar. Lalu dia berkata “ di desa ini, dilarang keras mencari tahu tentang Yamamba lebih jauh lagi. Karena semua orang yang mencari tahu tentang-nya maka akan langsung disantap oleh Yamamba…”.

Kami semua terdiam mendengar jawaban dari pendeta itu. Lalu Tetsuo tertawa terbahak-bahak sehingga air mata-nya keluar, Tetsuo berkata “yang benar saja, Anda jangan bercanda, tidak lucu tahu?” sembari menahan perut-nya yang sakit karena tertawa dari tadi.

“kalau kalian tidak percaya tidak apa-apa kok, tapi aku sarankan agar kalian pergi dari desa ini sebelum matahari terbenam karena orang asing yang mengetahui Yamamba tidak akan bisa keluar dari desa ini” himbau pendeta itu.

“tapi kami harus menyelesaikan tugas kami kalau tidak para pembaca akan kecewa loh?” kata Ayumi dengan sedikit kecewa.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan penelitian ini dan menanyakan dimana tempat yamamba.

“kalau begitu? Setidaknya bisa kasih tahu kami kuil penyembahan Yamamba? Setidaknya kami dapat hasil dari desa ini?” kata-ku. Aku melihat Ayumi dan yang lainnya sepakat atas keputusan-ku.

Tapi entah kenapa aku merasakan ada yang aneh dari pendeta itu. Wajah pendeta itu terlihat lebih tua daripada sebelumnya dan telinga-nya sedikit lancip. Mata-nya terbelalak ketika kami menanyakan tentang kuil itu lalu dia tersenyum dingin dan berkata “baiklah, akan aku kasih tahu kuil Yamamba…”

Menurut dari pendeta itu, kuil Yamamba berada di dekat pohon besar keramat di tengah gunung. Kami memutuskan untuk memasuki hutan dan kembali sebelum matahari terbenam. Di dalam hutan, kami merasakan ada yang aneh namun kami berusaha menahan rasa takut dan mencoba memasuki hutan lebih dalam lagi.

Tidak berapa lama kemudian kami menemukan sebuah pohon besar keramat dengan sekumpulan kertas mantera yang mengelilingi lingkaran pohon besar itu. Tak jauh dari pohon, terdapat tempat penyembahan dengan dupa pada bangunan kayu yang sudah tua. Kami menyimpulkan bahwa itu merupakan kuil dari Yamamba.

Setelah Tetsuo mengambil gambar dari kuil dan pohon itu, kami memutuskan untuk kembali. Hari sudah semakin gelap di dalam hutan tersebut. Burung-burung gagak mulai beterbangan di antara pepohonan yang besar sehingga membuat suasana menjadi angker.

Kami mengikuti jalan yang telah kami lalui sebelumnya. Namun entah kenapa jalan pada di malam hari sangat berbeda dari ketika kami memasuki hutan tersebut saat tengah hari. Udara mulai menusuk hingga ke tulang, Ayumi yang tidak tahan dengan udara yang dingin terlihat sangat menggigil. Aku membuka jaket-ku dan memberikan pada Ayumi dengan harapan bahwa itu akan menghilangkan sedikit dingin pada tubuh-nya.
Kami sudah mengikuti jalan yang pernah kami lalui namun entah kenapa kami tidak bisa menemukan jalan kembali menuju desa.

“apa yang terjadi disini? Seharusnya kita sudah memasuki jalan desa sekarang?” kata Toru dengan kesal. Entah sudah berapa batang rokok yang telah dihabiskan selama perjalanan tadi. Menurut-ku kami benar-benar dalam kondisi yang sangat berbahaya sekarang ini. Ya, kami telah tersesat, sudah berapa kali kami melewati jalan yang sama. Seolah-olah gunung tidak mengizinkan kami untuk pulang.

Di tengah-tengah kegundahan hati kami, kami melihat ada seberkas cahaya yang mirip seperti lentera menghampiri kami. Kami merasa sangat beruntung akhirnya berhasil masa-sama sulit seperti ini. Saat cahaya mulai mendekat, kami melihat seorang perempuan muda dengan kimono sedang menghampiri seolah-olah sudah mengetahui apa yang telah terjadi.

“kita selamat! Akhirnya ada bantuan…” teriak Tetsuo seolah-olah dia berhasil memenangkan lotre setelah sekian lama-nya.
“apakah kalian tersesat? Maukah kalian menginap di rumah gubuk kami?” kata perempuan misterius itu.
“a-nu, apakah Anda tinggal di dalam gunung?” tanya-ku untuk menghilangkan rasa penasaran kami.

Perempuan itu tersenyum lalu dia berbalik dan berkata “jangan khawatir, rumah keluarga-ku tidak jauh dari sini. Kalau kalian berkenan silahkan ikuti aku”.
Ayumi dan yang lain-nya menunggu keputusan-ku. Sebagian dari hati-ku mengatakan bahwa mengikuti perempuan itu namun sebagian lagi menolak dengan keras. Mengingat karena hari sudah gelap, sedangkan Ayumi sangat tersiksa dengan kedinginan, aku memutuskan untuk mengikuti saran perempuan itu.

Ternyata memang benar, rumah-nya tidak jauh dari lokasi kami tersesat. Rumah perempuan itu sangat sederhana. Rumah-nya hanya terbuat dari gabungan jerami dan kayu. Aku menyimpulkan bahwa mereka hidup dengan hasil dari dalam hutan mirip seperti orang jaman dahulu.

Ayumi terhenti sejenak, lalu dia melihat dengan teliti lokasi dimana saat ini. Ayumi berkata “aneh, kita-kan sudah melewati daerah ini. Tapi rumah ini sebelumnya tidak ada deh?” katanya dengan terheran-heran. Saat dia mengatakan itu, akhirnya aku mengerti maksud dari perkataan Ayumi. Memang terdengar sangat aneh, karena kenapa rumah gubuk ada di tengah-tengah hutan yang hampir tidak terjamah oleh warga desa ini. Dan lagipula, kenapa perempuan ini mengetahui bahwa kami sedang meminta pertolongan karena tersesat. Apa dia sedang mengawasi kami dari tadi? Beberapa jawaban mulai mengusik pikiran-ku.

Di saat aku bingung dengan situasi sat ini, Tetsuo dan Toru sudah memasuki rumah gubuk tersebut. Apa yang mereka pikirkan? Apa mereka mempercayai perempuan itu? Mereka tidak takut kalau sesuatu yang buruk akan terjadi? Lagi-lagi pikiran-ku muncul beberapa pertanyaan yang baru. Lalu aku merasakan tangan Ayumi sedang memegang tangan-ku dengan lembut. Dia tersenyum kepada-ku seolah-olah semua akan baik-baik saja. Akhirnya kami memasuki rumah tersebut tanpa memperdulikan situasi yang akan kami hadapi.

Di dalam, terdapat sebuah lubang sebagai tempat dimana dia biasa memasak. Aku melihat ada beberapa sisa kayu yang kelihatan baru saja digunakan. Perempuan itu meminta izin untuk menyiapkan segala sesuatu untuk keperluan kami. Untuk menghabiskan waktu, kami menenangkan otot kaki kami yang sudah mengeras karena perjalanan yang sungguh menyiksa.

Toru terlihat memeriksa kamera digital Tetsuo untuk memeriksa foto yang telah diambil sebelumnya.

“umm, aku rasa ini sudah dianggap sebagai hasil, iya-kan Tetsuo?” kata Toru.
Tetsuo terlihat sedang membaringkan tubuh-nya di lantai kayu yang agak dingin. Dia berkata “benar, ini akan lebih berhasil kalau si jurnalis kita dapat menutupi kekurangan-nya sih…”.
“baiklah akan aku usahakan…” kata-ku sambil membuka letop untuk memulai penulisan artikel. Tidak berapa lama kemudian perempuan itu sedang membawa beberapa gelas teh hijau untuk kami. Ayumi segera menawarkan diri untuk membantu menyelesaikan tugas-nya itu.

Kami dan perempuan itu menikmati teh hijau yang masih hangat kukuh itu. Haus dan penat hilang dalam sekejap. Lalu Ayumi berkata “a-nu, suami anda dimana? Kami merasa tidak enak sebelum menyapa beliau?” tanya-nya kepada perempuan itu.
“suami-ku saat ini sedang membelah kayu untuk makan malam nanti…” kata perempuan itu.

“loh, ke mana pak Toru? Kok tidak kelihatan?” kata Tetsuo dengan heran.
“oh ya? Pak Tetsuo keluar untuk mencoba menghubungi kantor kalau kita akan pulang besok. Lagian sinyal disini memang jelek banget” kata Ayumi sembari mengecek sinyal ponsel-nya.

Perempuan itu berdiri lalu dia berkata “di belakang ada pemandian air panas, kalau kalian mau silahkan gunakan. Aku akan menyiapkan untuk makan malam…”
“boleh aku bantu?” tanya Ayumi.
“tidak usah, aku bisa menyiapkan-nya sendiri…” kata perempuan itu sembari kembali ke belakang.

Ayumi terlihat sangat kecewa karena tawaran-nya ditolak. Lalu dia berkata” siapa yang masuk dulu?”
“perempuan dulu….” Aku dan Tetsuo mengatakan hal yang sama.

Ayumi tersenyum lalu dia berkata “terima kasih… , jangan mengintip ya…”.

“tidak akan, siapa yang mau lihat dada papan Ayumi, iya-kan Jurnalis?” tanya Tetsuo kepada-ku.

Aku hanya mengangguk sembari jari-ku sibuk menari di atas keyboard. Kami berdua hanya sibuk melakukan kegiatan masing-masing sembari menunggu Ayumi kembali.

--!!—

Ayumi terlihat sangat senang melihat pemandian air panas-nya. Dia tidak menduga bahwa di belakang rumah terdapat kolam seperti ini. Dia langsung melepaskan pakaian-nya dan mencebur-kan diri ke dalam-nya.

“enak-nya…” gumam Ayumi sembari membasahi rambut-nya yang panjang hitam. Tiba-tiba udara dingin mulai mengusik kenyamanan-nya  saat berendam. Pemandian air panas di dalam rumah itu memang di luar dan hanya dibatasi dengan dinding jerami.

-SSSSHGYAAAAAAH

Tiba-tiba terdengar suara misterius di balik pohon besar itu. Ayumi memperhatikan sumber suara itu. Lalu dia segera berlari masuk ke dalam rumah dalam keadaan hanya terbalut dengan handuk.

Saat aku menyadari kedatangan Ayumi yang sedang dalam ketakutan, aku segera menghampiri-nya dan segera menutup tubuh-nya dengan jaket-ku.

“ada apa Ayumi? “ tanya Tetsuo dengan penasaran.
“ta-tadi, saat aku mandi, aku melihat ada sesosok bayangan hitam dengan pisau daging sedang mengamati-ku dibalik pohon besar itu…” kata Ayumi sembari menahan rasa takut-nya.

“sudah tenang dulu, pakai kembali baju-mu, makanan sudah siap” kata-ku sembari memenangkan perasaan Ayumi kembali.

Setelah keadaan mulai terkendali lagi, kami bertiga makan dulu tanpa Toru. Aku mulai khawatir karena dia belum juga kembali dari tadi. Lalu aku mulai mencari-nya, mungkin dia sedang melamun di suatu tempat dan lupa diri.

Aku mengambil senter kecil-ku dan berkata “ kalian di dalam dulu. Berbahaya karena ada hewan buas di tengah hutan seperti ini”
Ayumi berdiri dan mengambil senter kecil juga dan berkata “ aku akan menemani-mu”
Tetsuo terlihat sangat kesal lalu dia berkata “jangan lama-lama pacaran ya…, dasar anak muda jaman sekarang”.

Ayumi berkata” bukan pacaran, iyakan, Shota-san?”
Aku tidak menanggapi perkataan Tetsuo tadi dan pergi untuk mencari Toru yang hilang. Kami memeriksa di sekitar rumah gubuk itu dan sekitar-nya. Di dalam pencarian kami, akhirnya kami menemukan jalan kembali ke desa. Kami sangat bersyukur karena bisa kembali ke kuil pendeta itu untuk bermalam disana.

-SSSSHGYAAAAAAH

Kami mendengar suara desahan misterius tepat di belakang. Ayumi mendekati-ku dan berkata “Shota-san, suara tadi yang aku dengar di pemandian air panas..”

Aku segera memeriksa sumber suara. Sesuai dugaan, aku tidak menemukan apapun kecuali suara burung hantu yang terus berbunyi menambahkan kesan horror disana. Kami akhirnya kembali ke rumah gubuk itu dan berharap Toru sudah kembali.

Namun, saat kami kembali, Toru tidak kembali bahkan Tetsuo juga menghilang. Perempuan yang tadi juga tidak ada di ruang tamu. Kami mulai cemas dan perasaan takut mulai menghantui kami. Kami memeriksa di dalam rumah gubuk itu dan berharap menemukan sesuatu sebagai petunjuk.

Kami sudah memeriksa semua ruangan, namun tidak menemukan siapapun bahkan perempuan dan suami-nya itu tidak ada. Setelah beberapa menit kami memeriksa ruangan itu, kami mendengar suara misterius itu kembali. Kali ini suara-nya berasal dari dapur belakang rumah.

Kami mencoba untuk menyelidiki suara apa sebenarnya itu. Tapi, kami melihat sesuatu yang tidak seharusnya di lihat. Aku melihat sosok besar dengan rambut putih panjang berantakan sedang mengasah pisau daging yang masih berlumuran dengan darah.

Dan yang membuat kami lebih terkejut adalah pakaian kimono sosok itu mirip dengan perempuan tadi. Sosok itu tersenyum sembari menunjukkan taring-nya yang runcing. Dengan tertatih-tatih dia membuka selimut putih yang berlumuran darah.

“kya-----“sebelum Ayumi berteriak aku segera menutup mulut-nya dengan tangan-ku. Ya, kami melihat sebuah tubuh yang sebagian sudah terpotong. Kami mengenal tubuh itu, dia adalah Toru! Sosok itu memenggal beberapa bagian tubuh-nya dan mengelupas dada bagaikan sedang memotong daging persembahan atau semacamnya.

Di sebelah-nya terbaring seseorang lagi. Dan lagi-lagi kami mengenal lelaki itu, Tetsuo! Sosok itu mengayunkan kapak dan memenggal kepala Tetsuo. Aku melihat, tubuh-nya kejang-kejang beberapa saat dan akhirnya lemas kehabisan darah.

Aku segera menarik tangan Ayumi dan berlari ke dalam desa. Seperti-nya sosok itu sedang sibuk dengan pekerjaan memotong Toru dan Tetsuo. Akhirnya kami berhasil memasuki jalanan desa. Di tengah kegelapan kami berlari menuju ke kui dimana pendeta desa tinggal.

Namun, kami tidak menemukan pendeta itu dimanapun, hanya kuil yang sangat sepi dan berantakan. Di atas tanah, kami menemukan pasak kayu dan papan yang tertulis “kuil Amarusa”. Melihat kondisi papan itu dapat disimpulkan bahwa kuil itu sudah lama sekali di tinggalkan oleh pemiliknya.

Jadi siapa yang menjamu kami tadi siang? Di tengah-tengah kebingungan kami, seorang warga desa yang kami jumpai di awal tadi menghampiri kami yang terpaku melihat kondisi kuil itu.

“kalau melihat kondisi kalian… , kalian pasti bertemu langsung dengan Yamamba” kata lelaki itu.

Aku tidak bisa menjawab apapun atas perkataan lelaki tadi. Aku dan Ayumi dibawa ke rumah-nya. Di sana dia memberitahukan bahwa pendeta dan perempuan yang kami jumpai adalah Yamamba. Dia sudah memperingati kami untuk segera pergi meninggalkan desa namun kami menolak.

Semua pakaian dan perlengkapan kami berada di rumah gubuk itu. Lelaki itu mengantarkan kami keesokan pagi-nya. Ternyata di rumah lelaki itu merupakan kuil yang sekarang ini. Aku menyadari ketika melewati rumah itu dan di belakang terdapat biara yang besar sekali. Setelah hanya aku dan ayumi yang selamat, kami memutuskan untuk keluar dari pekerjaan itu dan memulai kehidupan baru. Hingga saat ini kami masih belum melupakan kejadian saat bertemu dengan Yamamba.


Rabu, 26 Oktober 2016

A Tale of Scary Story - Final Chapter

STORY FINAL| MENGINTIP
Ini adalah kejadian yang benar-benar terjadi, teparnya saat aku baru pulang kerja dan melewati jalan seperti biasa. Aku melihat seorang wanita dengan kereta bayi sedang berdiri di depan rumah seseorang.

Awalnya aku merasa tidak ada yang aneh kepada wanita itu, karena bisa saja dia sedang menunggu seseorang di depan rumah tersebut.
Dan kejadian itu terjadi, aku menyaksikan leher wanita itu memanjang hingga menuju ke lantai 2 kamar rumah tersebut.

“Wanita Berleher Panjang?” gumamku.


Aku langsung berlari meninggalkan lokasi yang mengerikan itu. Dan ketika aku melintasi rumah itu pada pagi harinya, aku mengetahui anak pemilik rumah itu meninggal tanpa sebab. Diketahui penyebabnya adalah serangan jantung mendadak. Dalam pikiranku, penyebab serangan jantung itu adalah kejadian yang semalam.

A Tale of Scary Story - Chapter 19

STORY 19| AKU MENGIKUTIMU
Ini adalah pekerjaan pertamaku sebagai pelayan makanan cepat saji di Tokyo. Aku baru bekerja disana selama beberapa hari, tapi baru kali ini aku merasa sangat dengan was-was dengan sesuatu yang bahkan aku tidak ketahui sebelumnya.

Semula berawal dari seorang pelanggan aneh dengan jaket berwarna hitam dan mengenakan masker yang cukup lusuh. Pelanggan itu duduk sendirian di meja kosong, para pelanggan yang lalu-lalang di sekitarnya, seolah-olah tidak menyadari keberadaan orang itu.

Saat aku menanyakan kepada rekan kerjaku, dia malah mengatakan untuk tidak melayani pelanggan dengan jaket hitam itu. Dalam pikiranku, apakah restoran ini memilih-milih pelanggan? Aku membiarkan pertanyaan itu terus memutar di kepalaku selama melayani pelanggan lain nya.

Namun, hingga hari menjelang sore, pelanggan itu tetap duduk disana sendirian. Aku berusaha untuk melayaninya, tapi entah kenapa para pelayan lain bekerja sama untuk membuatku sibuk hingga aku melupakan pelanggan tersebut.
Setelah menyelesaikan semua pekerjaanku, aku langsung menghampiri pelanggan itu dan menanyakan apa pesanan nya.

“Maaf tuan, mau pesan apa?” tanyaku sembari menyerahkan daftar menu makanan kepada pelanggan tersebut. Pelanggan itu hanya terdiam sembari memandang wajahku dengan dingin.

“A-nu, kalau boleh tahu, apa pesanan anda… tuan?” tanyaku kembali.
-GRRRRRRRRR….. GRRRRRRR…..
“Eh?”
-GRRRRRRR………

Aku seperti mendengar suara geraman dari pelanggan tersebut. Tapi aku memutuskan untuk menanggapinya bahwa itu adalah balasan “Terima kasih”. Malamnya, aku bersiap untuk kembali ke rumahku.

Sebelum aku meninggalkan restoran, kepala koki berkata “Hikaru-kun, semoga selamat dalam perjalananmu”. Aku tidak tahu mengapa kepala koki mengatakan hal yang mengerikan seperti itu hingga aku mengalami kejadian mengerikan itu.

Ketika aku berada di depan pintu restoran, aku melihat pelanggan dengan jaket hitam itu berdiri di dalam kegelapan sembari menatap tajam kepadaku. Aku berusaha untuk tidak menyadarinya, tapi kemanapun aku pergi, pelanggan itu selalu ada di dekatku.
Karena perasaan terancam, aku memanggil taksi dan pergi meninggalkan pelanggan itu. Beberapa menit kemudian, aku sampai ke rumah, Tapi perasaan akan ancaman masih terus menguasai pikiranku.

Dan benar saja, ketika aku mengintip dari jendelaku, aku melihat pelanggan itu berdiri menghadap ke jendelaku.

“Sial!” teriak ku. Aku langsung mengambil handphoneku untuk menghubungi polisi. Namun, saat aku kembali melihatnya, pelanggan itu sudah menghilang tanpa jejak.
Tapi, tengah malamnya….
Aku mendengar suara gesekan di jendelaku. Suara gesekan itu mirip seperti benda tajam sedang digesekan pada jendela dengan sedikit kuat. Perlahan-lahan, aku mengintip dari balik tirai itu.

Dan aku melihat pelanggan itu sedang menggesekkan celurit pernuh darah pada jendelaku. Masker yang dia kenakan sudah tidak ada, aku melihat dengan jelas pelanggan itu tidak memiliki rahang bawah.

Dengan cepat, pelanggan itu menyadari keberadaanku. Aku langsung tersentak kaget. Aku langsung melompat ke atas futon ku dan membungkusku dengan selimut sembari berharap untuk segera tidur melupakan semuanya.
Paginya…


Aku menyaksikan pemandangan yang mengerikan lain nya, pada seluruh dinding kamarku, dipenuhi dengan tulisan berdarah yang berisi “AKU AKAN MENGIKUTIMU SELAMA SISAH HIDUPMU”.

A Tale of Scary Story - Chapter 18

STORY 18| KAGOME-KAGOME
Dahulu sekali semasa zaman perang dunia ke masih menjadi momok yang menakutkan di dunia, terdapat sebuah legenda yang mengerikan. Legenda tersebut konon sudah ada pada zaman itu, dimana orang-orang Jerman memutuskan untuk membuat suatu eksperimen aneh.

Ya, sebuah eksperimen yang melibatkan manusia terutama anak-anak pilihan yang dipilih langsung oleh orang-orang dari Jerman tersebut.

Pernah kalian mengenal permainan tradisional jepang yang bernama Kagome-Kagome? Permainan ini sering sekali dimainkan oleh anak-anak di zaman dahulu, mungkin ada sebagian yang masih memainkan tanpa mengetahui legenda yang tersembunyi dibaliknya.

Permainan ini terdiri dari beberapa orang yang membentuk sebuah lingkaran dengan saling berpegangan tangan satu sama lain sembari menyanyikan lagu “Kagome-Kagome”. Di dalam lingkaran, terdapat satu pemain yang jongkok dalam keadaan mata ditutup dengan kain atau sejenis-nya. Dan ketika lagu habis, salah satu dari mereka merangkul leher-nya sembari mengucapkan “Siapa yang memeluk-mu dari belakang?”. Si pemain yang di rangkul harus menebak siapa yang merangkul-nya, jika salah, si pemain akan diberikan hukuman bagi yang merangkul. Dan jika benar, maka permainan akan dilanjutkan dengan pemain yang lain-nya.

Aku sering memainkan permainan ini di masa lalu bersama dengan teman-teman-ku. Kami selalu melakukan permainan ini usai sekolah berakhir dan berkumpul di sebuah taman untuk memulai permainan tersebut.

Saat ini usia-ku menanjak ke 23 tahun, dan kini aku bekerja sebagai freelance jurnalis pada suatu media supernatural di jepang. Aku sudah menulis berbagai macam jenis kegiatan supernatural mulai dari Sadako, Kayako, Reiko Kashima, dan anak jerami.

Dan pada hari ini, aku akan menulis pengalaman yang tidak pernah aku lupakan hingga aku tiada nanti. Mungkin sebagian orang berpendapat bahwa legenda tidak selamanya benar, tapi berdasarkan pengalaman yang aku peroleh selama menyelidiki legenda tersebut, aku dapat menepis penyataan tersebut.

Legenda yang hampir membuat-ku terjebak di dalam dunia lain ialah Kagome-Kagome. Aku bekerja hanya dibantu oleh pengetahuan dan nyali-ku sendiri. Tidak ada asisten ataupun semacam-nya, kau tahu? terkadang menjadi freelance jurnalis kebanyakan makan hati.

Sebelum aku menyelusuri legenda tersebut lebih jauh lagi, aku memerlukan pengetahuan dari berbagai macam narasumber. Setiap aku menyelidiki suatu fakta, aku selalu merekam dengan video kamera murahan selama puluhan tahun silam.

“EHEM! Sato Kazuma disini”
“Seperti yang kalian lihat sekarang, aku sedang mewawancarai seorang wanita cantik, Himawari-san”

[“HEEE? Kazuma-kun, jangan bercanda ah—“]
“Aku mengatakan yang sebenarnya, lihat ke kamera, tersenyum dong”

Aku melihat wajah Himawari dari balik kamera murahan, tapi kecantikan tidak pernah luntur meskipun dengan kamera murahan seperti ini.

“Baiklah lelucon sudah berakhir. Bisa aku memulai menanyakan-mu sesuatu, Himawari-san?”
“Nah gitu dong, aku jadi tidak banyak buang waktu-ku disini. Tapi rekaman yang tadi di cut ya? Malu tahu?”

“Hah? Yang mana?”
“GEE------“

“Ba-baiklah, aku akan mengeditnya, ha ha ha”

Saat Himawari menanyakan itu, aku tidak bisa mengatakan tidak kepada-nya, terutama saat dia melihat-ku dengan wajah yang menggemaskan seperti tadi. Sial, seharusnya aku merekam saat wajah-nya semanis itu, mungkin ini akan menjadi rekaman seumur hidup-ku!

“Jadi gini nih, dengarkan ya?”
“Baiklah?”

“Legenda Kagome-Kagome itu ternyata benar adanya loh? Aku menemukan artikel tua yang menjelaskan legenda tersebut”

Aku menyuruh Himawari untuk menunjukkan ke depan kamera sehingga aku bisa merekam artikel tua tersebut sebagai referensi-ku nanti.

“Lihat? Disini dikatakan bahwa ada sebuah percobaan yang mengerikan terhadap anak-anak di panti asuhan di zaman perang dunia ke II. Dan ilmuwan yang bertanggung jawab saat itu, adalah orang-orang Jerman yang ditugaskan kesana…”

“Heee? Lalu penelitian apa yang sedang mereka lakukan saat itu? Tunggu!”

Aku mengambil potongan artikel tersebut dengan tangan-ku yang tidak memegang kamera, aku menyadari bahwa tulisan itu merupakan bahasa Jerman! Aku terkejut, dia bisa membaca koran asing tersebut dengan mudah.

“Kenapa, Kazuma-kun?”
“Tidak—hanya saja aku terkejut kalau kamu bisa mengerti bahasa Jerman dengan baik”
“He he he, jangan remehkan aku ya…”

“EHEM! Kembali ke topik pembahasan kita. Mengenai penelitian yang mereka lakukan adalah mencari tombol kehidupan yang tersimpan di dalam otak manusia. Mereka percaya bahwa jika mereka menemukan tombol tersebut maka seseorang yang sudah mati dapat dihidupkan kembali”

“Tombol? Dihidupkan kembali? Maksudnya?”
“Aku sendiri juga tidak tahu pasti sih, tapi menurut-ku, mereka ingin menghidupkan kembali para prajurit yang tewas dalam perang. Kau tahu? ketika tombol itu tidak rusak, meskipun tubuh dalam keadaan hancur, maka dia tetap bisa hidup abadi selamanya!”

“Mengerikan sekaligus menjijikkan! Aku tidak bisa membayangkan kalau ada seseorang dengan muka hancur berjalan dan berkeliaran dimana-mana dalam kondisi tersebut”
“Serem bukan? Aku saja tidak sanggup membayangkan-nya”

Aku melihat ada beberapa photo yang terpampang dalam artikel tersebut. Mereka terdiri dari 3 orang dewasa dan 5 orang anak-anak dari berbagai macam usia.
“Umm, apa orang-orang ini yang menjadi bahan penyelidikan mereka?”
“Ya, daripada menyebut sebagai bahan penyelidikan, korban menjadi cocok untuk mereka”

Setelah mendapatkan informasi penting, aku mematikan video kamera-ku dan meminta izin untuk kembali. Himawari terlihat kecewa karena aku tidak menerima ajakan-nya untuk makan malam bersama, tapi aku sudah memesan pizza di jam 6 sore, jadi aku harus cepat kembali ke apartemen-ku.

-!!-

Sesampai aku di kamar-ku, aku langsung mengambil memory card dalam kamera video dan menyimpan ke dalam komputer kerja-ku. Aku me-scan artikel tua dalam bahasa Jerman tersebut dan menyimpan ke dalam folder penelitian-ku.

Dengan penerangan seadanya, aku mencoba menganalisa artikel tersebut. Butuh beberapa menit agar aku bisa menulis mengenai artikel tersebut, setelah aku menyimpulkan analisa-ku, aku langsung menuangkan ke dalam tulisan-ku. Jari jemari-ku bergerak dengan lincah, seiring ide di dalam kepala-ku terus bermunculan.

Saat aku menyelesaikan ketikan-ku, aku menoleh jam dinding dan melihat jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Mata-ku mulai lelah dan otak-ku mulai berdenyut. Pertanda bahwa aku harus mengakhiri kerjaan-ku hari ini dan segera tidur untuk kesehatan sendiri.

Setelah aku membereskan semua-nya, aku langsung merebahkan tubuh-ku ke atas Futon dan memejamkan mata-ku. Tidak perlu lama agar aku bisa tertidur, dan tanpa aku sadari akhirnya tertidur juga.

“Loh? Kenapa aku berada di depan sebuah gedung tua kosong?”
“Kenapa aku merasa ada seseorang yang menanti di dalam sana?”

Aku bermimpi, aku bermimpi berada di depan sebuah gedung besar yang sudah tidak terawat. Aku melihat dinding-dinding sudah retak dimana-mana dan berlumut. Aku berjalan perlahan mendekati gedung tersebut dan tanpa sadar aku menginjak sesuatu.

“Hmm, panti asuhan Hiragaoka. Tunggu, aku seperti-nya mengenal baik nama tersebut”
Aku memperhatikan di sekitar gedung tersebut, tanpa sadar airmata-ku mengalir. Ya, aku mengingat dengan jelas bahwa aku sempat menjadi dari bagian panti asuhan ini. Sejak kecil, aku tidak mengetahui siapa orang tua-ku yang sebenarnya. Alasan-ku yang paling logis adalah orang tua-ku tidak menginginkan keberadaan-ku dan akhirnya berakhir di panti asuhan seperti ini.

“Benar juga. Panti asuhan ini adalah tempat aku dibesarkan. Tapi semenjak aku keluar dari sana, aku tidak pernah mendengar kabar dari teman-teman-ku disana. Dan beberapa tahun setelah-nya, aku kembali dan panti asuhan sudah dipindahkan. Tapi aku rasa disini tempat-nya”

Aku berjalan lebih dalam lagi dan membuka pintu besar yang sudah berlumut tersebut. Pintu tersebut sudah berlumut dan berkarat, aku membutuhkan banyak tenaga agar bisa membuka pintu tersebut. Dengan susah payah, aku mendorong pintu tersebut hingga terbuka sedikit.

Bau lembab langsung mengusik hidung-ku. Aku terus memaksa membuka pintu tersebut hingga terdapat cukup celah agar aku bisa memasuki-nya.
Saat aku berada di dalam, aku berada di lorong-lorong utama yang sudah sangat berdebu dan berantakan. Di dinding, terdapat berbagai macam gambar anak-anak. Aku memeriksa setiap gambar tersebut dengan senter.

“A-apaan ini?”

Aku melihat gambar yang aneh. Aku melihat sesuatu yang tidak mungkin anak-anak menggambar-nya. Aku melihat berbagai macam orang dalam keadaan tidak lengkap. Aku melihat ada seseorang yang mirip perawat sedang terduduk lemas di dinging dengan kayu yang menyangkut di kepala-nya. Aku melihat ada seseorang yang sedang tersenyum memegang sebuah kepala anak kecil yang berlumuran darah.

“Apa benar, anak-anak yang menggambar mengerikan seperti ini?”

Aku terus melihat semua gambar tersebut hingga pada gambar terakhir. Gambar terakhir ini sangat berbeda dengan yang lain, masih bersih seolah-olah baru saja ditempel disana. Gambar kali ini, menunjukkan sepasang suami istri yang sedang menggendong seorang bayi tanpa kepala.

Mereka tersenyum melihat bayi tanpa kepala itu, di samping mereka, terdapat anak-anak lain dalam kondisi yang tidak lengkap. Bahkan ada hanya setengah badan terlihat disana.

-HI HI HI HI
“Hmm?”
-HI HI HI HI

“Suara tawa? Anak kecil?”
-Dia datang, akhirnya dia datang
-Heeh. Dia sudah besar ya…

-Tapi apa benar dia orang itu?
-Aku yakin, aku mengenal wajah-nya!
-Heeh?

Aku mendengar suara beberapa anak yang terlihat sedang membicarakan tentang-ku. Aku melihat diseluruh sudut lorong-lorong, tetapi tidak menemukan siapapun. Lalu aku melihat sekumpulan bayangan yang menyerupai anak-anak, tidak berapa lama menghilang.
Suara yang misterius dari anak-anak itu lenyap begitu saja. Aku merasakan sesuatu sedang menusuk-ku dari belakang. Aku melihat dengan jelas pedang tajam menembus perut-ku dari belakang. Aku melihat darah segar mengalir dari luka tersebut.

“UKH---“

Aku mengeluarkan darah dari mulut-ku dan pandangan-ku langsung memerah. Dari belakang, aku melihat seorang wanita dengan tanpa rahang sedang menusuk-ku terus hingga aku terduduk lemas. Di samping-ku, aku mulai menyadari ada banyak anak-anak sedang mengelilingi-ku sembari tersenyum mengerikan.
“GLEMAIHIN--------YUK------“

Aku mendengar suara wanita tanpa rahang itu, suara yang dihasilkan tidak jelas tapi aku bisa memahami apa yang dia katakan kepada-ku. Tidak berapa lama kemudian aku pingsan tidak sadarkan diri.

-!!-

“WAAAAAAAAAAAAAAH”

Aku menjerit histeris dan langsung terbangun dari mimpi buruk tersebut. Aku memeriksa perut-ku dan setelah merasa semua baik-baik saja, aku langsung menenangkan pikiran dan tubuh-ku. Aku membasahi baju tidur-ku bahkan futon-ku sendiri.

“Mimpi? Tapi kenapa terasa seperti nyata?”

Aku langsung bangkit dari futon-ku dan mengambil beberapa bir dingin untuk melepaskan penat-ku. Jam masih menunjukkan 3 pagi, dan terima kasih karena mimpi itu, aku akhirnya terjaga semalaman hingga pagi menyambut-ku kembali.

Sesuai sarapan, aku menerima telepon dari Himawari bahwa dia menemukan sebuah lokasi dimana kejadian tersebut terjadi. Dan akhirnya aku memutuskan kesana untuk mengembangkan penelitian-ku. Tapi kali ini, Himawari ingin ikut serta dalam perjalanan-ku. Awalnya aku menolak, tapi kemampuan paranormal darinya sangat membutuhkan perhatian-ku, akhirnya aku menerima dia sebagai asisten pribadi-ku.

Lokasi yang kami kunjungi adalah gedung penelitian yang merangkap sebagai panti asuhan sekaligus. Gedung tersebut bernama ‘SCHAMEWISKI’. Pemerintah jepang saat itu, menyediakan fasilitas yang mereka butuhkan termasuk kelinci percobaan mereka. Lokasi tersebut tersembunyi di dalam hutan yang terletak dari suatu desa yang bernama Hirigahara.

Untuk sampai ke gedung tersebut tidaklah mudah, kami harus melewati beberapa jalan sempit dan curam, salah gerak sedikit saja maka nyawa kami akan berakhir dengan cepat. Kami sampai ke lokasi tersebut menjelang sore.

“Akhirnya sampai juga, Kazuma-kun, aku saja yang merekam kegiatan kali ini ya…”
Himawari meraih kamera digital dari dalam ransel-ku dan mulai meliput kegiatan kami. Saat pertama kali aku melihat gedung ini, aku langsung menyadari bahwa tempat ini sangat mirip dengan yang ada di dalam mimpi-ku semalam.

Dan sesuai dugaan-ku, aku menemukan sebuah palang yang menyatakan nama panti asuhan tersebut. Aku mulai merasa sesuatu yang mengerikan akan terjadi, tapi aku harus mengambil resiko agar bisa menyampaikan hasil penelitian-ku kepada dunia. Mungkin dengan mengungkap legenda ini maka akan terpecahkan suatu misteri selama ratus tahun silam.

Aku mendorong pintu tersebut dengan sangat kuat karena aku merasa bahwa gedung ini sama persis yang ada di dalam mimpi-ku. Lorong-lorong di dalam-nya masih sama, gambar anak-anak yang mengerikan tertempel di dinding. Aku menelan ludah-ku sendiri dan mengajak Himawari mengikuti kegiatan-ku hingga berakhir.

“Kazuma-kun, katakan sesuatu dong”
[“Eh? Hari ini kami sedang menyelidiki sebuah gedung penelitian tua dimana sekaligus sebagai tempat asuhan di masa lalu”]

[“Seperti yang kalian lihat? Lorong-lorong utama yang lembab dan tidak terawat menunjukkan bahwa gedung ini sudah lama sekali ditinggalkan oleh pemilik-nya”]

Aku menjelaskan apa yang aku lihat dan sentuh di depan kamera dengan tanpa jeda sedikitpun. Semakin dalam kami menyelusuri lorong-lorong tersebut, semakin lembab di dalam-nya. Hingga kami menemukan sebuah pintu besi yang sudah sangat berkarat.

“Hmm, disana tertulis, ruang kesehatan? Apa ini ruang penelitian mereka? Benar gak? Kazuma-kun?”

[“Mungkin-saja! Sial tidak terbuka…”]
Aku terus mendorong dengan sekuat tenaga, namun tidak bisa terbuka sedikitpun. Akhirnya kami meninggalkan lokasi tersebut dan melewati jalan lain. Kami sampai di sebuah 4 simpang. Kami menyadari bahwa gedung ini, mirip seperti labirin! Salah belok maka kami tidak akan pernah keluar selama-nya.

[“Himawari-san? Kenapa kamu terus menoleh ke belakang terus?”]
“Eh? Kazuma-kun, apa kamu mendengar suara langkah kaki yang berat?”

[“Hah? Tidak tuh…”]

“Tapi…, suaranya makin jelas loh…”
Himawari mulai ketakutan lalu dia mematikan kamera video dan berjalan dengan cepat di depan-ku.

“Oi, Jangan cepat-cepat, bisa gawat kalau kita terpisah! Himawari-san!!”
Aku meninggikan suara-ku sehingga suara tersebut menggema di lorong-lorong yang sempit itu. Semakin dalam, kami melewati jalan yang sempit. Dan akhirnya kami menemukan pintu yang lain-nya.

“Tulisan ini-kan…, Himawari tolong terjemahkan”

Himawari masih saja menoleh ke belakang dengan ketakutan, akhirnya dia membacakan tulisan bahasa Jerman itu untuk-ku meskipun dia sepertinya mulai enggan melakukan-nya.

“Disini,,, dikatakan kalau ruang ini adalah ruang bedah…”
“Apa? Ruang bedah?”

Aku mulai membayangkan para ilmuwan gila itu melakukan pembedahan kepala anak-anak itu dengan cara yang mengerikan disini. Himawari mencoba menekan gagang pintu yang terbuat dari kayu itu. Dan seperti yang kami duga, pintu tersebut bisa dbuka!

-HA-HA-HA-HA
-HA-HA-HA-HA
-HI-HI-HI-HI-HI

Kami mendengar suara tawa beberapa anak kecil dari dalam ruang gelap dan lembab tersebut. Tidak berapa lama kemudian lampu tiba-tiba hidup dengan sendiri-nya. Pemandangan kami langsung tertuju kepada noda darah yang berserakan dimana-mana.

Kami melihat darah segar menempel di meja operasi yang berderet hingga menuju ke ruang lain-nya. Bau amis yang sangat kental disana, membuat kami mau mengeluarkan semua isi perut karena bau tersebut menyiksa hidung kami.

[Himawari-san, tetap seperti itu. Rekam semua yang ada disini…”]
“Tapi…, bau-nya ini membuat-!!!”

Himawari akhirnya tidak bisa menahan diri dan muntah di depan-ku. Keringat dingin membasahi wajah-nya dan airmata-nya mulai mengalir.

“Himawari-san, lebih baik kamu keluar saja dari sini. Kalau kamu mengikuti rute sebelum-nya pasti akan cepat keluar”
“Lalu, Kazuma-kun?”

“Aku? Tentu saja aku akan terus menyelidiki-nya”
Himawari terlihat bingung harus melakukan apa, aku terus membuat dia mengerti situasi-nya saat ini. Akhirnya dia menyerahkan kamera video dan keluar dari dalam ruang tersebut. Setelah memastikan Himawari sudah tidak berada di dalam ruangan ini, aku melanjutkan penyelidikan-ku.

-Dia datang, akhirnya dia datang
-Heeh. Dia sudah besar ya…
-Tapi apa benar dia orang itu?
-Aku yakin, aku mengenal wajah-nya!
-Heeh?

Aku sepertinya pernah mendengar percakapan aneh itu. Aku terus berjalan sembari mengawasi disekeliling-ku tanpa melewatkan pandangan sedetik-pun.

“Paman….”

Aku mendengar suara anak perempuan kecil di belakang-ku. Aku merasakan baju-ku ditarik-tarik sama persis yang anak-anak biasa lakukan. Saat aku menoleh, aku melihat seorang anak perempuan yang umur-nya sekitar 5 tahun sedang melihat-ku dengan tatapan kosong.

Aku menyadari bahwa anak itu sedang memegang sebuah boneka yang sudah usang. Tidak berapa lama kemudian aku melihat anak-anak lain keluar entah darimana menghampiriku.

“Paman, main yuk?” sahut perempuan yang sedang memegang boneka itu. Aku melihat tangan-nya yang kurus memegang baju-ku dengan sedikit gemetar. Tapi sorot mata-nya tetap menunjukkan kekosongan. Aku menjadi ketakutan sendiri, lalu aku berkata “Ma-main apa?”.

Anak-anak lain terlihat saling berbisik satu sama lain sembari terus melirik kepada-ku. Lalu seorang perempuan yang terlihat sedikit lebih tua dari mereka, mungkin sekitar SMP, menghampiri-ku dan berkata “Kagome-Kagome! Permainan favorit kami semua”.

“Kagome-Kagome?”
Tanpa mendengar dari jawaban-ku, mereka langsung mengelilingi-ku. Anak-anak tersebut ada 5 orang, salah satu dari mereka memberikan aku penutup mata dan menyuruh-ku jongkok.

-KAGOME KAGOME, KAGO NO TORI WA
-ITSU ITSU DEYARU? YOAKE NO BAN NI
-TSURU TO KAME TO SUBETTA

Mereka menyanyikan lagu tersebut sembari terus memutar mengelilingi-ku berulang kali. Meskipun aku tidak melihat wajah mereka, aku merasa bahwa mereka menatap-ku dengan dingin. Sungguh, aku bisa merasakan-nya hingga ke tulang-ku.
Lalu aku merasa ada seseorang yang sedang merangkul-ku dari belakang dan berkata “-USHIRO NO SHOUMEN DAARE? [coba tebak siapa yang memeluk-mu?]. Aku bisa merasakan desir darah-ku mengalir dengan cepat, keringat dingin mulai membasahi-ku dan tubuh-ku tidak berhenti bergemetar.

“Tatsuya….”

Aku menyebut nama teman-ku di masa lalu, aku tidak tahu kenapa mengatakan nama itu. Tapi aku merasakan bahwa orang yang memeluk-ku adalah Tatsuya Hajime. Aku membuka penutup mata-ku dan lampu sudah mati, hanya kegelapan yang mengelilingi-ku.

Anak-anak yang bermain dengan-ku sudah menghilang, tidak terkecuali yang merangkul-ku dari belakang. Aku menghidupkan kembali senter-ku dan melihat sekumpulan anak-anak kecil sedang berdiri mematung melihat-ku.

Aku melihat beberapa anak yang aku kenal, jantung-ku berdetak dengan kencang. Airmata-ku mengalir tanpa aku sadari.
“Tatsuya? Hiromi-chan? Kak Ayumi? Bahkan Natsumi-chan juga?”

Aku melihat mereka dalam kondisi yang mengerikan. Tatsuya sudah kehilangan sebagian kepala-nya, Hiromi tidak mempunyai mata dan telinga lagi, Kak Ayumi sudah tidak mempunyai tubuh bagian bawah dan muka-nya penuh luka sayatan, dan Natsumi. Anak paling muda yang aku kenal, padahal umur-nya baru menginjak 1 tahun, tapi saat ini dia tidak punya kepala lagi. Aku bisa mengenal-nya dari kalung yang kami buat bersama-sama di masa lalu.

“A-aku pikir, kalian sudah pindah duluan dari-ku. Tapi aku tidak menyangka kalau kalian berakhir disini…”
“Kazu-kun sudah besar sekarang. Kami selalu menunggu-mu selama puluhan tahun disini. Di ruang gelap ini, dingin. Kami tidak hidup ataupun mati, kami semua terperangkap disini…”

Aku mendengar suara yang lembut itu, Kak Ayumi! Ya aku sangat merindukan suaranya yang lembut. Dia merupakan sosok bagaikan ibu-ku. Tapi aku melihat dia sudah dalam kondisi seperti itu.

“Kazuma, berbagunglah dengan kami? bersama dengan anak-anak yang lain” kata Tatsuya sembari menunjukkan anak-anak yang lain sedang berada di belakang mereka berempat. Sebagian anak-anak itu, terpampang di dalam artikel tua tersebut.

“Kazu-kun, kami semua sangat merindukan-mu. Bergabunglah dengan kami…”
Kak Ayumi masih sama seperti yang dulu, meskipun wajah penuh luka, aura keibuan masih terasa oleh-ku. Tanpa aku sadari, aku berjalan menuju ke tempat mereka. Dalam pikiran-ku saat itu, hanya satu! Bergabung dengan Kak Ayumi dan yang lain-nya.

“KAZUMA-KUN!!!!! JANGAN KESANA!!!”
Aku menghentikan langkah-ku dan melihat Himawari sedang melihat-ku dari belakang sembari menekan terluka pada lengan-nya.

“DENGAR KAZUMA-KUN! MEREKA BUKAN ROH YANG MURNI! MEREKA SEDANG DIKUASAI OLEH SESEORANG DISINI!”

“Apa maksudmu? Lihat mereka! Mereka masih hidup! Ternyata tombol kehidupan itu benar adanya”

Aku memperlihatkan semua anak-anak yang tidak lengkap seolah-olah tidak sesuatu yang aneh kepada mereka. Himawari menggelengkan kepala-nya lalu dia segera berlari menghampiri-ku dan langsung menarik tangan-ku dengan kuat.

-BRAKKK

Aku melihat seorang wanita tanpa rahang mengayunkan pedang ke arah-ku. Pedang tersebut menghancurkan kayu yang sudah rapuh itu dengan mudah. Himawari terus menampar-ku berulang kali hingga akhirnya aku sadar apa yang terjadi.

Tatsuya dan yang lain-nya perlahan berubah menjadi roh yang jahat. Mereka mulai mendekati kami dengan sangat menakutkan. Aku sendiri tidak mempercayai semua ini, lalu aku langsung menarik tangan Himawari dan keluar dari ruangan tersebut.

“Kenapa kamu kembali?”
“Saat aku kembali ke jalur tadi, aku dihadang oleh wanita tadi dan menyerang-ku. Aku masih sempat menghindar tapi tebasan pedang-nya melukai-ku”

“Siapa sebenarnya wanita itu?!!!”
Himawari menoleh ke belakang dan melihat wanita tanpa rahang itu berlari dengan sangat kencang sembari mengayunkan pedang-nya.

“KYAAAAAAAAAAA”

Aku dan Himawari terus berlari menelusuri jalur yang sama seperti sebelum-nya. Dan tidak berapa lama kemudian, kami berhasil melewati ancaman tersebut dan berhasil keluar dari gedung itu.
Kami melihat wanita itu berdiri mematung di depan pintu tersebut. Sepertinya dia tidak bisa melewati lebih dari itu. Di jendela, aku melihat Tatsuya dan yang lain-nya sedang menatap kami dengan dingin.

-!!-

Beberapa hari setelah kejadian itu, Himawari akhirnya menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

“Dahulu, panti asuhan itu dimiliki oleh sepasang suami istri yang tidak mempunyai anak. Mereka mengambil anak-anak yang terlantar di jalanan dan mengadopsi mereka seperti anak sendiri. Suatu hari, orang Jerman menguasai panti asuhan mereka dan melakukan percobaan ilegal.

“Semua pengasuh yang ada disana dibantai habis, dan yang tersisa adalah sepasang suami istri dan anak-anak asuh mereka. Satu persatu mereka membongkar kepala anak-anak itu tanpa obat bius sedikitpun. Hampir tiap malam, terdengar suara jeritan anak-anak yang dibedah kepala-nya,

“Satu persatu, anak asuh mereka meninggal begitu saja. mayat mereka ditimbun di dalam ruang kesehatan. Ada beberapa anak yang berhasil melalui penderitaan hebat itu. Tapi jiwa dan pikiran mereka sudah kosong bagaikan mayat hidup.

“Suatu hari, para ilmuwan terkejut karena anak-anak yang berhasil selamat dari percobaan itu, mengerti bahasa mereka. Dan mereka mengajak para ilmuwan itu bermain Kagome-Kagome. Para ilmuwan yang kontak langsung dengan mereka, akhirnya menjadi gila dan bunuh diri. Hanya satu yang berhasil bertahan yaitu kepala penelitian.

“Dia melakukan eksperimen terakhir kepada wanita dari pemilik panti asuhan ini. Sebelum membedah kepala-nya, dia melecehkan tubuh-nya berulang kali di depan mayat suami-nya. Setelah puas, dia membedah kepala-nya dengan mesin gergaji dan terlihat-lah otak-nya.

“Dia mengacak-acak otak wanita itu hingga tubuh perempuan itu bereaksi dengan tidak normal. Setelah itu, dia menyambungkan kembali tempurung kepala-nya. Sesuai yang dia harap-kan, wanita itu selamat. Namun wanita itu menjadi liar dan membunuh ilmuwan tersebut. ilmuwan itu berhasil menghancurkan rahang bawah wanita itu dengan senapan-nya. Wanita itu tanpa ekspresi membantai ilmuwan itu , lalu membedah kepala-nya dan memakan otak-nya dalam sekali lahap.”

Aku mendengar cerita tersebut dengan tubuh yang terus gemetar, lalu aku menanyakan kenapa dia berhasil lolos dari serangan wanita itu.
Himawari tersenyum lalu dia berkata “Tentu saja, karena aku berasal dari panti asuhan itu. Aku berhasil bertahan dari uji coba itu. Lihat…”.

Sorot mata Himawari berubah menjadi dingin, lalu dia tersenyum sembari berkata “Aku berbohong karena aku dilukai oleh-nya. Sebenarnya luka ini sudah ada sejak lama loh…”
Aku langsung keluar dari dalam rumah Himawari, ketika dia menunjukkan luka pada tangan-nya tidak sembuh-sembuh. Aku bisa melihat tulang-nya dari luka lebar itu.
Semenjak saat itu, aku berhenti menjadi penulis untuk selama-lama-nya. Belakangan aku mendengar bahwa Himawari sudah meninggal beberapa puluh tahun yang lalu, jauh sebelum bertemu dengan-ku.


Satu hal yang menjadi misteri bagiku? kenapa Himawari menolongku saat itu? pertanyaan itu masih belum terjawab hingga saat ini.