Jumat, 28 Oktober 2016

A Tale of Scary Story - Chapter 16

STORY 16| YAMAMBA
Sebagai seorang jurnalis paranormal di majalah JAPAN-NOWDAYS, aku bertanggung jawab akan kebenaran berita yang di terbitkan tiap minggu-nya. Nama-ku Shota Shinohara 23 tahun dan baru saja menikah pada akhir bulan Januari lalu. Aku mendengar dari seseorang yang mengatakan bahwa ada bahan berita yang sangat bagus untuk artikel-ku selanjutnya.

Dia mengatakan bahwa ada sebuah desa yang memiliki sebuah legenda yang disebut dengan Yamamba. Aku pernah mendengar-nya dari seorang teman dekat dan mengatakan bahwa dia ditolong oleh sosok misterius tersebut. Mendengar berita itu, jiwa jurnalis-ku memaksa untuk meneliti lebih jauh lagi.

Nama desa itu adalah Desa Fukuoka yang sangat jauh dari peradaban dunia moderen saat ini. Aku dan rekan satu tim dengan-ku mencoba menelusuri legenda Yamamba.
Kami pergi ke desa Fukuoka dengan mengendarai mobil kantor yang sengaja kami sewa untuk pergi kesana. Aku akan memperkenalkan rekan-ku padamu, Matsutaka Tetsuo sebagai seorang cameramen 24 tahun, Aibara Yumi 20 tahun sebagai asisten pribadi-ku dan satu orang sebagai supir serta sebagai ketua penanggung jawab perjalanan ini, Akai Toru, 30 tahun.

Untuk mencapai ke desa dari stasiun membutuhkan waktu kurang lebih 2 setengah jam. Seperti desa yang jauh dari peradaban moderen, desa ini sangat indah dengan berbagai macam perkebunan dan sawah yang terbentang luas di beberapa sudut desa. Dalam hati-ku sangat bersyukur bisa menyempatkan diri untuk meneliti di desa nan indah ini dan berharap mendapatkan berita yang layak untuk di terbitkan pada majalah harian kami.

Setelah kami mencapai di pintu desa, kami memutuskan jalan kaki sembari menikmati perjalanan kali ini. Aku dan tim-ku mencoba menanyakan perihal tentang Yamamba kepada warga lokal.

“Shota-san, ayo kita coba tanyakan pada paman itu yuk? “ kata Yumi dengan semangat. Aku melihat seorang lelaki paru baya yang umur-nya sekitar 30 tahun-an sedang mencangkul lahan pribadi-nya. Kami pun segera mendekati lelaki itu dan mencoba menanyakan perihal Yamamba di desa ini.

“permisi pak, kami boleh menanyakan sesuatu kepada Anda sebagai bahan referensi artikel? “ kata-ku sembari menunjukkan kartu pengenal yang kemudian diikuti lain-nya.
Lelaki itu terdiam sejenak, mata-nya melihat kami dengan tatapan yang curiga. Lalu dia melanjutkan kegiatan-nya tanpa menghiraukan sapaan kami.

“a-nu …” kata Ayumi mencoba membujuk lelaki itu.
“apakah bapak tahu tentang Yamamba? Kami sangat berterima kasih kalau bapak berkenan untuk menceritakan sedikit tentang-nya…” kata Ayumi melanjutkan pembicaraan-nya.

“kalian pergilah dari desa ini, dasar orang kota bodoh!” kata lelaki itu dengan kesal.
“ba-baik , tapi sebelumnya bisa tidak cerita sedikit saja tentang Yamamba?” kata Ayumi.

“tidak tahu aku! Cepatlah pergi dari hadapan-ku!” teriak lelaki tua itu sehingga terdengar dengan orang lain yang kebetulan melewati daerah itu,

Dengan kecewa kami pergi meninggalkan lelaki itu untuk mencegah terjadi kesalahpahaman diantara warga lokal desa ini.

Kami melanjutkan perjalanan lagi dan menanyakan kepada orang yang berbeda. Namun entah kenapa ketika kami menanyakan yamamba kepada mereka, wajah mereka menjadi pucat lalu mengusir kami dengan kasar. Aku sempat berpikir bahwa kami mungkin akan menemukan sesuatu yang berbahaya kalau kami lanjut penelitian ini.
Namun ketua penanggung jawab perjalanan tidak mengizinkan kembali ke Tokyo sebelum mendapatkan hasil.

“tidak bisa, kita harus menyelesaikan tugas kita…., kau tahu? Berapa banyak dana yang dihabiskan hanya untuk perjalanan ini hah?” kata Toru dengan jengkel kepada-ku.
“tapi mau bagaimana lagi? Para penduduk disini sangat tidak ramah kepada kita semua? Apa karena kita orang kota makanya mereka bekerja sama untuk tidak membocorkan tentang Yamamba?” kata Tetsuo sembari membantingkan bekas rokok ke tanah.

Aku sendiri tidak dapat mengatakan apapun tentang masalah ini. Bagi kami ini merupakan pertama kalinya kami ditolak oleh para warga lokal seperti ini, berbeda dengan perjalanan sebelumnya. Lalu aku menyuruh Ayumi untuk menemukan tempat peristirahat agar kami bisa mendinginkan kembali kepala kami semua.

Matahari mulai naik dan udara panas mulai membuat kami semua gelisah. Emosi kami perlahan meluap dan mengendalikan amarah kami. Ayumi yang sedari tadi pergi mencari tempat peristirahat belum juga kembali. Panas terik mulai membuat pikiran kami menjadi sangat terganggu sehingga yang kami bisa lakukan hanya-lah duduk di masing-masing tempat yang terpisah.

Lalu dari kejauhan aku melihat Ayumi berlari sembari berteriak “semuanya, aku menemukan seseorang yang dapat membantu permasalahan kita!!!”
Setelah dia sudah sampai ke tempat peristirahat kami yang sementara, Ayumi dengan semangat berkata “dia adalah pendeta di desa ini. Dan yang paling mengejutkan adalah dia mengizinkan kita untuk tinggal di kuil sementara loh?”

Toru kemudian memerintahkan kami untuk segera pergi ke kuil yang dimaksud. Di kuil, kami disambut dengan baik oleh pendeta kuil tersebut. Pendeta itu menawarkan kami untuk beristirahat sejenak sembari menjawab pertanyaan atas legenda Yamamba.

“sejak dulu desa ini sangat menghormati Yamamba. Bagi kami Yamamba merupakan seorang dewi pelindung desa. Mereka tidak mau menjawab pertanyaan kalian karena di desa terdapat hukum yang mengharuskan mereka semua untuk diam” kata pendeta itu memulai cerita-nya.

“lalu larangan seperti apa itu, pak?” kata-ku dengan penasaran.
Awalnya pendeta itu merasa keberatan untuk menceritakan pada orang luar. Lalu dia berkata “ di desa ini, dilarang keras mencari tahu tentang Yamamba lebih jauh lagi. Karena semua orang yang mencari tahu tentang-nya maka akan langsung disantap oleh Yamamba…”.

Kami semua terdiam mendengar jawaban dari pendeta itu. Lalu Tetsuo tertawa terbahak-bahak sehingga air mata-nya keluar, Tetsuo berkata “yang benar saja, Anda jangan bercanda, tidak lucu tahu?” sembari menahan perut-nya yang sakit karena tertawa dari tadi.

“kalau kalian tidak percaya tidak apa-apa kok, tapi aku sarankan agar kalian pergi dari desa ini sebelum matahari terbenam karena orang asing yang mengetahui Yamamba tidak akan bisa keluar dari desa ini” himbau pendeta itu.

“tapi kami harus menyelesaikan tugas kami kalau tidak para pembaca akan kecewa loh?” kata Ayumi dengan sedikit kecewa.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan penelitian ini dan menanyakan dimana tempat yamamba.

“kalau begitu? Setidaknya bisa kasih tahu kami kuil penyembahan Yamamba? Setidaknya kami dapat hasil dari desa ini?” kata-ku. Aku melihat Ayumi dan yang lainnya sepakat atas keputusan-ku.

Tapi entah kenapa aku merasakan ada yang aneh dari pendeta itu. Wajah pendeta itu terlihat lebih tua daripada sebelumnya dan telinga-nya sedikit lancip. Mata-nya terbelalak ketika kami menanyakan tentang kuil itu lalu dia tersenyum dingin dan berkata “baiklah, akan aku kasih tahu kuil Yamamba…”

Menurut dari pendeta itu, kuil Yamamba berada di dekat pohon besar keramat di tengah gunung. Kami memutuskan untuk memasuki hutan dan kembali sebelum matahari terbenam. Di dalam hutan, kami merasakan ada yang aneh namun kami berusaha menahan rasa takut dan mencoba memasuki hutan lebih dalam lagi.

Tidak berapa lama kemudian kami menemukan sebuah pohon besar keramat dengan sekumpulan kertas mantera yang mengelilingi lingkaran pohon besar itu. Tak jauh dari pohon, terdapat tempat penyembahan dengan dupa pada bangunan kayu yang sudah tua. Kami menyimpulkan bahwa itu merupakan kuil dari Yamamba.

Setelah Tetsuo mengambil gambar dari kuil dan pohon itu, kami memutuskan untuk kembali. Hari sudah semakin gelap di dalam hutan tersebut. Burung-burung gagak mulai beterbangan di antara pepohonan yang besar sehingga membuat suasana menjadi angker.

Kami mengikuti jalan yang telah kami lalui sebelumnya. Namun entah kenapa jalan pada di malam hari sangat berbeda dari ketika kami memasuki hutan tersebut saat tengah hari. Udara mulai menusuk hingga ke tulang, Ayumi yang tidak tahan dengan udara yang dingin terlihat sangat menggigil. Aku membuka jaket-ku dan memberikan pada Ayumi dengan harapan bahwa itu akan menghilangkan sedikit dingin pada tubuh-nya.
Kami sudah mengikuti jalan yang pernah kami lalui namun entah kenapa kami tidak bisa menemukan jalan kembali menuju desa.

“apa yang terjadi disini? Seharusnya kita sudah memasuki jalan desa sekarang?” kata Toru dengan kesal. Entah sudah berapa batang rokok yang telah dihabiskan selama perjalanan tadi. Menurut-ku kami benar-benar dalam kondisi yang sangat berbahaya sekarang ini. Ya, kami telah tersesat, sudah berapa kali kami melewati jalan yang sama. Seolah-olah gunung tidak mengizinkan kami untuk pulang.

Di tengah-tengah kegundahan hati kami, kami melihat ada seberkas cahaya yang mirip seperti lentera menghampiri kami. Kami merasa sangat beruntung akhirnya berhasil masa-sama sulit seperti ini. Saat cahaya mulai mendekat, kami melihat seorang perempuan muda dengan kimono sedang menghampiri seolah-olah sudah mengetahui apa yang telah terjadi.

“kita selamat! Akhirnya ada bantuan…” teriak Tetsuo seolah-olah dia berhasil memenangkan lotre setelah sekian lama-nya.
“apakah kalian tersesat? Maukah kalian menginap di rumah gubuk kami?” kata perempuan misterius itu.
“a-nu, apakah Anda tinggal di dalam gunung?” tanya-ku untuk menghilangkan rasa penasaran kami.

Perempuan itu tersenyum lalu dia berbalik dan berkata “jangan khawatir, rumah keluarga-ku tidak jauh dari sini. Kalau kalian berkenan silahkan ikuti aku”.
Ayumi dan yang lain-nya menunggu keputusan-ku. Sebagian dari hati-ku mengatakan bahwa mengikuti perempuan itu namun sebagian lagi menolak dengan keras. Mengingat karena hari sudah gelap, sedangkan Ayumi sangat tersiksa dengan kedinginan, aku memutuskan untuk mengikuti saran perempuan itu.

Ternyata memang benar, rumah-nya tidak jauh dari lokasi kami tersesat. Rumah perempuan itu sangat sederhana. Rumah-nya hanya terbuat dari gabungan jerami dan kayu. Aku menyimpulkan bahwa mereka hidup dengan hasil dari dalam hutan mirip seperti orang jaman dahulu.

Ayumi terhenti sejenak, lalu dia melihat dengan teliti lokasi dimana saat ini. Ayumi berkata “aneh, kita-kan sudah melewati daerah ini. Tapi rumah ini sebelumnya tidak ada deh?” katanya dengan terheran-heran. Saat dia mengatakan itu, akhirnya aku mengerti maksud dari perkataan Ayumi. Memang terdengar sangat aneh, karena kenapa rumah gubuk ada di tengah-tengah hutan yang hampir tidak terjamah oleh warga desa ini. Dan lagipula, kenapa perempuan ini mengetahui bahwa kami sedang meminta pertolongan karena tersesat. Apa dia sedang mengawasi kami dari tadi? Beberapa jawaban mulai mengusik pikiran-ku.

Di saat aku bingung dengan situasi sat ini, Tetsuo dan Toru sudah memasuki rumah gubuk tersebut. Apa yang mereka pikirkan? Apa mereka mempercayai perempuan itu? Mereka tidak takut kalau sesuatu yang buruk akan terjadi? Lagi-lagi pikiran-ku muncul beberapa pertanyaan yang baru. Lalu aku merasakan tangan Ayumi sedang memegang tangan-ku dengan lembut. Dia tersenyum kepada-ku seolah-olah semua akan baik-baik saja. Akhirnya kami memasuki rumah tersebut tanpa memperdulikan situasi yang akan kami hadapi.

Di dalam, terdapat sebuah lubang sebagai tempat dimana dia biasa memasak. Aku melihat ada beberapa sisa kayu yang kelihatan baru saja digunakan. Perempuan itu meminta izin untuk menyiapkan segala sesuatu untuk keperluan kami. Untuk menghabiskan waktu, kami menenangkan otot kaki kami yang sudah mengeras karena perjalanan yang sungguh menyiksa.

Toru terlihat memeriksa kamera digital Tetsuo untuk memeriksa foto yang telah diambil sebelumnya.

“umm, aku rasa ini sudah dianggap sebagai hasil, iya-kan Tetsuo?” kata Toru.
Tetsuo terlihat sedang membaringkan tubuh-nya di lantai kayu yang agak dingin. Dia berkata “benar, ini akan lebih berhasil kalau si jurnalis kita dapat menutupi kekurangan-nya sih…”.
“baiklah akan aku usahakan…” kata-ku sambil membuka letop untuk memulai penulisan artikel. Tidak berapa lama kemudian perempuan itu sedang membawa beberapa gelas teh hijau untuk kami. Ayumi segera menawarkan diri untuk membantu menyelesaikan tugas-nya itu.

Kami dan perempuan itu menikmati teh hijau yang masih hangat kukuh itu. Haus dan penat hilang dalam sekejap. Lalu Ayumi berkata “a-nu, suami anda dimana? Kami merasa tidak enak sebelum menyapa beliau?” tanya-nya kepada perempuan itu.
“suami-ku saat ini sedang membelah kayu untuk makan malam nanti…” kata perempuan itu.

“loh, ke mana pak Toru? Kok tidak kelihatan?” kata Tetsuo dengan heran.
“oh ya? Pak Tetsuo keluar untuk mencoba menghubungi kantor kalau kita akan pulang besok. Lagian sinyal disini memang jelek banget” kata Ayumi sembari mengecek sinyal ponsel-nya.

Perempuan itu berdiri lalu dia berkata “di belakang ada pemandian air panas, kalau kalian mau silahkan gunakan. Aku akan menyiapkan untuk makan malam…”
“boleh aku bantu?” tanya Ayumi.
“tidak usah, aku bisa menyiapkan-nya sendiri…” kata perempuan itu sembari kembali ke belakang.

Ayumi terlihat sangat kecewa karena tawaran-nya ditolak. Lalu dia berkata” siapa yang masuk dulu?”
“perempuan dulu….” Aku dan Tetsuo mengatakan hal yang sama.

Ayumi tersenyum lalu dia berkata “terima kasih… , jangan mengintip ya…”.

“tidak akan, siapa yang mau lihat dada papan Ayumi, iya-kan Jurnalis?” tanya Tetsuo kepada-ku.

Aku hanya mengangguk sembari jari-ku sibuk menari di atas keyboard. Kami berdua hanya sibuk melakukan kegiatan masing-masing sembari menunggu Ayumi kembali.

--!!—

Ayumi terlihat sangat senang melihat pemandian air panas-nya. Dia tidak menduga bahwa di belakang rumah terdapat kolam seperti ini. Dia langsung melepaskan pakaian-nya dan mencebur-kan diri ke dalam-nya.

“enak-nya…” gumam Ayumi sembari membasahi rambut-nya yang panjang hitam. Tiba-tiba udara dingin mulai mengusik kenyamanan-nya  saat berendam. Pemandian air panas di dalam rumah itu memang di luar dan hanya dibatasi dengan dinding jerami.

-SSSSHGYAAAAAAH

Tiba-tiba terdengar suara misterius di balik pohon besar itu. Ayumi memperhatikan sumber suara itu. Lalu dia segera berlari masuk ke dalam rumah dalam keadaan hanya terbalut dengan handuk.

Saat aku menyadari kedatangan Ayumi yang sedang dalam ketakutan, aku segera menghampiri-nya dan segera menutup tubuh-nya dengan jaket-ku.

“ada apa Ayumi? “ tanya Tetsuo dengan penasaran.
“ta-tadi, saat aku mandi, aku melihat ada sesosok bayangan hitam dengan pisau daging sedang mengamati-ku dibalik pohon besar itu…” kata Ayumi sembari menahan rasa takut-nya.

“sudah tenang dulu, pakai kembali baju-mu, makanan sudah siap” kata-ku sembari memenangkan perasaan Ayumi kembali.

Setelah keadaan mulai terkendali lagi, kami bertiga makan dulu tanpa Toru. Aku mulai khawatir karena dia belum juga kembali dari tadi. Lalu aku mulai mencari-nya, mungkin dia sedang melamun di suatu tempat dan lupa diri.

Aku mengambil senter kecil-ku dan berkata “ kalian di dalam dulu. Berbahaya karena ada hewan buas di tengah hutan seperti ini”
Ayumi berdiri dan mengambil senter kecil juga dan berkata “ aku akan menemani-mu”
Tetsuo terlihat sangat kesal lalu dia berkata “jangan lama-lama pacaran ya…, dasar anak muda jaman sekarang”.

Ayumi berkata” bukan pacaran, iyakan, Shota-san?”
Aku tidak menanggapi perkataan Tetsuo tadi dan pergi untuk mencari Toru yang hilang. Kami memeriksa di sekitar rumah gubuk itu dan sekitar-nya. Di dalam pencarian kami, akhirnya kami menemukan jalan kembali ke desa. Kami sangat bersyukur karena bisa kembali ke kuil pendeta itu untuk bermalam disana.

-SSSSHGYAAAAAAH

Kami mendengar suara desahan misterius tepat di belakang. Ayumi mendekati-ku dan berkata “Shota-san, suara tadi yang aku dengar di pemandian air panas..”

Aku segera memeriksa sumber suara. Sesuai dugaan, aku tidak menemukan apapun kecuali suara burung hantu yang terus berbunyi menambahkan kesan horror disana. Kami akhirnya kembali ke rumah gubuk itu dan berharap Toru sudah kembali.

Namun, saat kami kembali, Toru tidak kembali bahkan Tetsuo juga menghilang. Perempuan yang tadi juga tidak ada di ruang tamu. Kami mulai cemas dan perasaan takut mulai menghantui kami. Kami memeriksa di dalam rumah gubuk itu dan berharap menemukan sesuatu sebagai petunjuk.

Kami sudah memeriksa semua ruangan, namun tidak menemukan siapapun bahkan perempuan dan suami-nya itu tidak ada. Setelah beberapa menit kami memeriksa ruangan itu, kami mendengar suara misterius itu kembali. Kali ini suara-nya berasal dari dapur belakang rumah.

Kami mencoba untuk menyelidiki suara apa sebenarnya itu. Tapi, kami melihat sesuatu yang tidak seharusnya di lihat. Aku melihat sosok besar dengan rambut putih panjang berantakan sedang mengasah pisau daging yang masih berlumuran dengan darah.

Dan yang membuat kami lebih terkejut adalah pakaian kimono sosok itu mirip dengan perempuan tadi. Sosok itu tersenyum sembari menunjukkan taring-nya yang runcing. Dengan tertatih-tatih dia membuka selimut putih yang berlumuran darah.

“kya-----“sebelum Ayumi berteriak aku segera menutup mulut-nya dengan tangan-ku. Ya, kami melihat sebuah tubuh yang sebagian sudah terpotong. Kami mengenal tubuh itu, dia adalah Toru! Sosok itu memenggal beberapa bagian tubuh-nya dan mengelupas dada bagaikan sedang memotong daging persembahan atau semacamnya.

Di sebelah-nya terbaring seseorang lagi. Dan lagi-lagi kami mengenal lelaki itu, Tetsuo! Sosok itu mengayunkan kapak dan memenggal kepala Tetsuo. Aku melihat, tubuh-nya kejang-kejang beberapa saat dan akhirnya lemas kehabisan darah.

Aku segera menarik tangan Ayumi dan berlari ke dalam desa. Seperti-nya sosok itu sedang sibuk dengan pekerjaan memotong Toru dan Tetsuo. Akhirnya kami berhasil memasuki jalanan desa. Di tengah kegelapan kami berlari menuju ke kui dimana pendeta desa tinggal.

Namun, kami tidak menemukan pendeta itu dimanapun, hanya kuil yang sangat sepi dan berantakan. Di atas tanah, kami menemukan pasak kayu dan papan yang tertulis “kuil Amarusa”. Melihat kondisi papan itu dapat disimpulkan bahwa kuil itu sudah lama sekali di tinggalkan oleh pemiliknya.

Jadi siapa yang menjamu kami tadi siang? Di tengah-tengah kebingungan kami, seorang warga desa yang kami jumpai di awal tadi menghampiri kami yang terpaku melihat kondisi kuil itu.

“kalau melihat kondisi kalian… , kalian pasti bertemu langsung dengan Yamamba” kata lelaki itu.

Aku tidak bisa menjawab apapun atas perkataan lelaki tadi. Aku dan Ayumi dibawa ke rumah-nya. Di sana dia memberitahukan bahwa pendeta dan perempuan yang kami jumpai adalah Yamamba. Dia sudah memperingati kami untuk segera pergi meninggalkan desa namun kami menolak.

Semua pakaian dan perlengkapan kami berada di rumah gubuk itu. Lelaki itu mengantarkan kami keesokan pagi-nya. Ternyata di rumah lelaki itu merupakan kuil yang sekarang ini. Aku menyadari ketika melewati rumah itu dan di belakang terdapat biara yang besar sekali. Setelah hanya aku dan ayumi yang selamat, kami memutuskan untuk keluar dari pekerjaan itu dan memulai kehidupan baru. Hingga saat ini kami masih belum melupakan kejadian saat bertemu dengan Yamamba.


0 komentar:

Posting Komentar