STORY
16| YAMAMBA
Sebagai seorang jurnalis paranormal di
majalah JAPAN-NOWDAYS, aku bertanggung jawab akan kebenaran berita yang di
terbitkan tiap minggu-nya. Nama-ku Shota Shinohara 23 tahun dan baru saja
menikah pada akhir bulan Januari lalu. Aku mendengar dari seseorang yang
mengatakan bahwa ada bahan berita yang sangat bagus untuk artikel-ku
selanjutnya.
Dia mengatakan bahwa ada sebuah desa
yang memiliki sebuah legenda yang disebut dengan Yamamba. Aku pernah
mendengar-nya dari seorang teman dekat dan mengatakan bahwa dia ditolong oleh
sosok misterius tersebut. Mendengar berita itu, jiwa jurnalis-ku memaksa untuk
meneliti lebih jauh lagi.
Nama desa itu adalah Desa Fukuoka yang
sangat jauh dari peradaban dunia moderen saat ini. Aku dan rekan satu tim
dengan-ku mencoba menelusuri legenda Yamamba.
Kami pergi ke desa Fukuoka dengan
mengendarai mobil kantor yang sengaja kami sewa untuk pergi kesana. Aku akan
memperkenalkan rekan-ku padamu, Matsutaka Tetsuo sebagai seorang cameramen 24
tahun, Aibara Yumi 20 tahun sebagai asisten pribadi-ku dan satu orang sebagai
supir serta sebagai ketua penanggung jawab perjalanan ini, Akai Toru, 30 tahun.
Untuk mencapai ke desa dari stasiun
membutuhkan waktu kurang lebih 2 setengah jam. Seperti desa yang jauh dari
peradaban moderen, desa ini sangat indah dengan berbagai macam perkebunan dan
sawah yang terbentang luas di beberapa sudut desa. Dalam hati-ku sangat
bersyukur bisa menyempatkan diri untuk meneliti di desa nan indah ini dan
berharap mendapatkan berita yang layak untuk di terbitkan pada majalah harian
kami.
Setelah kami mencapai di pintu desa,
kami memutuskan jalan kaki sembari menikmati perjalanan kali ini. Aku dan
tim-ku mencoba menanyakan perihal tentang Yamamba kepada warga lokal.
“Shota-san, ayo kita coba tanyakan pada
paman itu yuk? “ kata Yumi dengan semangat. Aku melihat seorang lelaki paru
baya yang umur-nya sekitar 30 tahun-an sedang mencangkul lahan pribadi-nya.
Kami pun segera mendekati lelaki itu dan mencoba menanyakan perihal Yamamba di
desa ini.
“permisi pak, kami boleh menanyakan
sesuatu kepada Anda sebagai bahan referensi artikel? “ kata-ku sembari
menunjukkan kartu pengenal yang kemudian diikuti lain-nya.
Lelaki itu terdiam sejenak, mata-nya
melihat kami dengan tatapan yang curiga. Lalu dia melanjutkan kegiatan-nya
tanpa menghiraukan sapaan kami.
“a-nu …” kata Ayumi mencoba membujuk
lelaki itu.
“apakah bapak tahu tentang Yamamba?
Kami sangat berterima kasih kalau bapak berkenan untuk menceritakan sedikit
tentang-nya…” kata Ayumi melanjutkan pembicaraan-nya.
“kalian pergilah dari desa ini, dasar
orang kota bodoh!” kata lelaki itu dengan kesal.
“ba-baik , tapi sebelumnya bisa tidak
cerita sedikit saja tentang Yamamba?” kata Ayumi.
“tidak tahu aku! Cepatlah pergi dari
hadapan-ku!” teriak lelaki tua itu sehingga terdengar dengan orang lain yang
kebetulan melewati daerah itu,
Dengan kecewa kami pergi meninggalkan
lelaki itu untuk mencegah terjadi kesalahpahaman diantara warga lokal desa ini.
Kami melanjutkan perjalanan lagi dan
menanyakan kepada orang yang berbeda. Namun entah kenapa ketika kami menanyakan
yamamba kepada mereka, wajah mereka menjadi pucat lalu mengusir kami dengan
kasar. Aku sempat berpikir bahwa kami mungkin akan menemukan sesuatu yang
berbahaya kalau kami lanjut penelitian ini.
Namun ketua penanggung jawab perjalanan
tidak mengizinkan kembali ke Tokyo sebelum mendapatkan hasil.
“tidak bisa, kita harus menyelesaikan
tugas kita…., kau tahu? Berapa banyak dana yang dihabiskan hanya untuk
perjalanan ini hah?” kata Toru dengan jengkel kepada-ku.
“tapi mau bagaimana lagi? Para penduduk
disini sangat tidak ramah kepada kita semua? Apa karena kita orang kota makanya
mereka bekerja sama untuk tidak membocorkan tentang Yamamba?” kata Tetsuo
sembari membantingkan bekas rokok ke tanah.
Aku sendiri tidak dapat mengatakan
apapun tentang masalah ini. Bagi kami ini merupakan pertama kalinya kami
ditolak oleh para warga lokal seperti ini, berbeda dengan perjalanan
sebelumnya. Lalu aku menyuruh Ayumi untuk menemukan tempat peristirahat agar
kami bisa mendinginkan kembali kepala kami semua.
Matahari mulai naik dan udara panas
mulai membuat kami semua gelisah. Emosi kami perlahan meluap dan mengendalikan
amarah kami. Ayumi yang sedari tadi pergi mencari tempat peristirahat belum
juga kembali. Panas terik mulai membuat pikiran kami menjadi sangat terganggu
sehingga yang kami bisa lakukan hanya-lah duduk di masing-masing tempat yang
terpisah.
Lalu dari kejauhan aku melihat Ayumi
berlari sembari berteriak “semuanya, aku menemukan seseorang yang dapat
membantu permasalahan kita!!!”
Setelah dia sudah sampai ke tempat
peristirahat kami yang sementara, Ayumi dengan semangat berkata “dia adalah
pendeta di desa ini. Dan yang paling mengejutkan adalah dia mengizinkan kita
untuk tinggal di kuil sementara loh?”
Toru kemudian memerintahkan kami untuk
segera pergi ke kuil yang dimaksud. Di kuil, kami disambut dengan baik oleh
pendeta kuil tersebut. Pendeta itu menawarkan kami untuk beristirahat sejenak
sembari menjawab pertanyaan atas legenda Yamamba.
“sejak dulu desa ini sangat menghormati
Yamamba. Bagi kami Yamamba merupakan seorang dewi pelindung desa. Mereka tidak
mau menjawab pertanyaan kalian karena di desa terdapat hukum yang mengharuskan
mereka semua untuk diam” kata pendeta itu memulai cerita-nya.
“lalu larangan seperti apa itu, pak?”
kata-ku dengan penasaran.
Awalnya pendeta itu merasa keberatan
untuk menceritakan pada orang luar. Lalu dia berkata “ di desa ini, dilarang
keras mencari tahu tentang Yamamba lebih jauh lagi. Karena semua orang yang
mencari tahu tentang-nya maka akan langsung disantap oleh Yamamba…”.
Kami semua terdiam mendengar jawaban
dari pendeta itu. Lalu Tetsuo tertawa terbahak-bahak sehingga air mata-nya
keluar, Tetsuo berkata “yang benar saja, Anda jangan bercanda, tidak lucu
tahu?” sembari menahan perut-nya yang sakit karena tertawa dari tadi.
“kalau kalian tidak percaya tidak
apa-apa kok, tapi aku sarankan agar kalian pergi dari desa ini sebelum matahari
terbenam karena orang asing yang mengetahui Yamamba tidak akan bisa keluar dari
desa ini” himbau pendeta itu.
“tapi kami harus menyelesaikan tugas
kami kalau tidak para pembaca akan kecewa loh?” kata Ayumi dengan sedikit
kecewa.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya aku
memutuskan untuk melanjutkan penelitian ini dan menanyakan dimana tempat
yamamba.
“kalau begitu? Setidaknya bisa kasih
tahu kami kuil penyembahan Yamamba? Setidaknya kami dapat hasil dari desa ini?”
kata-ku. Aku melihat Ayumi dan yang lainnya sepakat atas keputusan-ku.
Tapi entah kenapa aku merasakan ada
yang aneh dari pendeta itu. Wajah pendeta itu terlihat lebih tua daripada
sebelumnya dan telinga-nya sedikit lancip. Mata-nya terbelalak ketika kami
menanyakan tentang kuil itu lalu dia tersenyum dingin dan berkata “baiklah, akan
aku kasih tahu kuil Yamamba…”
Menurut dari pendeta itu, kuil Yamamba
berada di dekat pohon besar keramat di tengah gunung. Kami memutuskan untuk
memasuki hutan dan kembali sebelum matahari terbenam. Di dalam hutan, kami
merasakan ada yang aneh namun kami berusaha menahan rasa takut dan mencoba
memasuki hutan lebih dalam lagi.
Tidak berapa lama kemudian kami
menemukan sebuah pohon besar keramat dengan sekumpulan kertas mantera yang
mengelilingi lingkaran pohon besar itu. Tak jauh dari pohon, terdapat tempat
penyembahan dengan dupa pada bangunan kayu yang sudah tua. Kami menyimpulkan
bahwa itu merupakan kuil dari Yamamba.
Setelah Tetsuo mengambil gambar dari
kuil dan pohon itu, kami memutuskan untuk kembali. Hari sudah semakin gelap di
dalam hutan tersebut. Burung-burung gagak mulai beterbangan di antara pepohonan
yang besar sehingga membuat suasana menjadi angker.
Kami mengikuti jalan yang telah kami
lalui sebelumnya. Namun entah kenapa jalan pada di malam hari sangat berbeda
dari ketika kami memasuki hutan tersebut saat tengah hari. Udara mulai menusuk
hingga ke tulang, Ayumi yang tidak tahan dengan udara yang dingin terlihat
sangat menggigil. Aku membuka jaket-ku dan memberikan pada Ayumi dengan harapan
bahwa itu akan menghilangkan sedikit dingin pada tubuh-nya.
Kami sudah mengikuti jalan yang pernah
kami lalui namun entah kenapa kami tidak bisa menemukan jalan kembali menuju
desa.
“apa yang terjadi disini? Seharusnya
kita sudah memasuki jalan desa sekarang?” kata Toru dengan kesal. Entah sudah
berapa batang rokok yang telah dihabiskan selama perjalanan tadi. Menurut-ku
kami benar-benar dalam kondisi yang sangat berbahaya sekarang ini. Ya, kami
telah tersesat, sudah berapa kali kami melewati jalan yang sama. Seolah-olah
gunung tidak mengizinkan kami untuk pulang.
Di tengah-tengah kegundahan hati kami,
kami melihat ada seberkas cahaya yang mirip seperti lentera menghampiri kami.
Kami merasa sangat beruntung akhirnya berhasil masa-sama sulit seperti ini.
Saat cahaya mulai mendekat, kami melihat seorang perempuan muda dengan kimono
sedang menghampiri seolah-olah sudah mengetahui apa yang telah terjadi.
“kita selamat! Akhirnya ada bantuan…”
teriak Tetsuo seolah-olah dia berhasil memenangkan lotre setelah sekian
lama-nya.
“apakah kalian tersesat? Maukah kalian
menginap di rumah gubuk kami?” kata perempuan misterius itu.
“a-nu, apakah Anda tinggal di dalam
gunung?” tanya-ku untuk menghilangkan rasa penasaran kami.
Perempuan itu tersenyum lalu dia
berbalik dan berkata “jangan khawatir, rumah keluarga-ku tidak jauh dari sini.
Kalau kalian berkenan silahkan ikuti aku”.
Ayumi dan yang lain-nya menunggu
keputusan-ku. Sebagian dari hati-ku mengatakan bahwa mengikuti perempuan itu
namun sebagian lagi menolak dengan keras. Mengingat karena hari sudah gelap,
sedangkan Ayumi sangat tersiksa dengan kedinginan, aku memutuskan untuk
mengikuti saran perempuan itu.
Ternyata memang benar, rumah-nya tidak
jauh dari lokasi kami tersesat. Rumah perempuan itu sangat sederhana. Rumah-nya
hanya terbuat dari gabungan jerami dan kayu. Aku menyimpulkan bahwa mereka
hidup dengan hasil dari dalam hutan mirip seperti orang jaman dahulu.
Ayumi terhenti sejenak, lalu dia
melihat dengan teliti lokasi dimana saat ini. Ayumi berkata “aneh, kita-kan
sudah melewati daerah ini. Tapi rumah ini sebelumnya tidak ada deh?” katanya
dengan terheran-heran. Saat dia mengatakan itu, akhirnya aku mengerti maksud
dari perkataan Ayumi. Memang terdengar sangat aneh, karena kenapa rumah gubuk
ada di tengah-tengah hutan yang hampir tidak terjamah oleh warga desa ini. Dan
lagipula, kenapa perempuan ini mengetahui bahwa kami sedang meminta pertolongan
karena tersesat. Apa dia sedang mengawasi kami dari tadi? Beberapa jawaban
mulai mengusik pikiran-ku.
Di saat aku bingung dengan situasi sat
ini, Tetsuo dan Toru sudah memasuki rumah gubuk tersebut. Apa yang mereka
pikirkan? Apa mereka mempercayai perempuan itu? Mereka tidak takut kalau
sesuatu yang buruk akan terjadi? Lagi-lagi pikiran-ku muncul beberapa
pertanyaan yang baru. Lalu aku merasakan tangan Ayumi sedang memegang tangan-ku
dengan lembut. Dia tersenyum kepada-ku seolah-olah semua akan baik-baik saja.
Akhirnya kami memasuki rumah tersebut tanpa memperdulikan situasi yang akan
kami hadapi.
Di dalam, terdapat sebuah lubang
sebagai tempat dimana dia biasa memasak. Aku melihat ada beberapa sisa kayu
yang kelihatan baru saja digunakan. Perempuan itu meminta izin untuk menyiapkan
segala sesuatu untuk keperluan kami. Untuk menghabiskan waktu, kami menenangkan
otot kaki kami yang sudah mengeras karena perjalanan yang sungguh menyiksa.
Toru terlihat memeriksa kamera digital
Tetsuo untuk memeriksa foto yang telah diambil sebelumnya.
“umm, aku rasa ini sudah dianggap
sebagai hasil, iya-kan Tetsuo?” kata Toru.
Tetsuo terlihat sedang membaringkan
tubuh-nya di lantai kayu yang agak dingin. Dia berkata “benar, ini akan lebih
berhasil kalau si jurnalis kita dapat menutupi kekurangan-nya sih…”.
“baiklah akan aku usahakan…” kata-ku
sambil membuka letop untuk memulai penulisan artikel. Tidak berapa lama
kemudian perempuan itu sedang membawa beberapa gelas teh hijau untuk kami.
Ayumi segera menawarkan diri untuk membantu menyelesaikan tugas-nya itu.
Kami dan perempuan itu menikmati teh
hijau yang masih hangat kukuh itu. Haus dan penat hilang dalam sekejap. Lalu
Ayumi berkata “a-nu, suami anda dimana? Kami merasa tidak enak sebelum menyapa
beliau?” tanya-nya kepada perempuan itu.
“suami-ku saat ini sedang membelah kayu
untuk makan malam nanti…” kata perempuan itu.
“loh, ke mana pak Toru? Kok tidak
kelihatan?” kata Tetsuo dengan heran.
“oh ya? Pak Tetsuo keluar untuk mencoba
menghubungi kantor kalau kita akan pulang besok. Lagian sinyal disini memang
jelek banget” kata Ayumi sembari mengecek sinyal ponsel-nya.
Perempuan itu berdiri lalu dia berkata
“di belakang ada pemandian air panas, kalau kalian mau silahkan gunakan. Aku
akan menyiapkan untuk makan malam…”
“boleh aku bantu?” tanya Ayumi.
“tidak usah, aku bisa menyiapkan-nya
sendiri…” kata perempuan itu sembari kembali ke belakang.
Ayumi terlihat sangat kecewa karena
tawaran-nya ditolak. Lalu dia berkata” siapa yang masuk dulu?”
“perempuan dulu….” Aku dan Tetsuo
mengatakan hal yang sama.
Ayumi tersenyum lalu dia berkata
“terima kasih… , jangan mengintip ya…”.
“tidak akan, siapa yang mau lihat dada
papan Ayumi, iya-kan Jurnalis?” tanya Tetsuo kepada-ku.
Aku hanya mengangguk sembari jari-ku
sibuk menari di atas keyboard. Kami berdua hanya sibuk melakukan kegiatan
masing-masing sembari menunggu Ayumi kembali.
--!!—
Ayumi terlihat sangat senang melihat
pemandian air panas-nya. Dia tidak menduga bahwa di belakang rumah terdapat
kolam seperti ini. Dia langsung melepaskan pakaian-nya dan mencebur-kan diri ke
dalam-nya.
“enak-nya…” gumam Ayumi sembari
membasahi rambut-nya yang panjang hitam. Tiba-tiba udara dingin mulai mengusik
kenyamanan-nya saat berendam. Pemandian air panas di dalam rumah itu
memang di luar dan hanya dibatasi dengan dinding jerami.
-SSSSHGYAAAAAAH
Tiba-tiba terdengar suara misterius di
balik pohon besar itu. Ayumi memperhatikan sumber suara itu. Lalu dia segera
berlari masuk ke dalam rumah dalam keadaan hanya terbalut dengan handuk.
Saat aku menyadari kedatangan Ayumi
yang sedang dalam ketakutan, aku segera menghampiri-nya dan segera menutup
tubuh-nya dengan jaket-ku.
“ada apa Ayumi? “ tanya Tetsuo dengan
penasaran.
“ta-tadi, saat aku mandi, aku melihat
ada sesosok bayangan hitam dengan pisau daging sedang mengamati-ku dibalik
pohon besar itu…” kata Ayumi sembari menahan rasa takut-nya.
“sudah tenang dulu, pakai kembali
baju-mu, makanan sudah siap” kata-ku sembari memenangkan perasaan Ayumi
kembali.
Setelah keadaan mulai terkendali lagi,
kami bertiga makan dulu tanpa Toru. Aku mulai khawatir karena dia belum juga
kembali dari tadi. Lalu aku mulai mencari-nya, mungkin dia sedang melamun di
suatu tempat dan lupa diri.
Aku mengambil senter kecil-ku dan
berkata “ kalian di dalam dulu. Berbahaya karena ada hewan buas di tengah hutan
seperti ini”
Ayumi berdiri dan mengambil senter
kecil juga dan berkata “ aku akan menemani-mu”
Tetsuo terlihat sangat kesal lalu dia
berkata “jangan lama-lama pacaran ya…, dasar anak muda jaman sekarang”.
Ayumi berkata” bukan pacaran, iyakan,
Shota-san?”
Aku tidak menanggapi perkataan Tetsuo
tadi dan pergi untuk mencari Toru yang hilang. Kami memeriksa di sekitar rumah
gubuk itu dan sekitar-nya. Di dalam pencarian kami, akhirnya kami menemukan
jalan kembali ke desa. Kami sangat bersyukur karena bisa kembali ke kuil
pendeta itu untuk bermalam disana.
-SSSSHGYAAAAAAH
Kami mendengar suara desahan misterius
tepat di belakang. Ayumi mendekati-ku dan berkata “Shota-san, suara tadi yang
aku dengar di pemandian air panas..”
Aku segera memeriksa sumber suara.
Sesuai dugaan, aku tidak menemukan apapun kecuali suara burung hantu yang terus
berbunyi menambahkan kesan horror disana. Kami akhirnya kembali ke rumah gubuk
itu dan berharap Toru sudah kembali.
Namun, saat kami kembali, Toru tidak
kembali bahkan Tetsuo juga menghilang. Perempuan yang tadi juga tidak ada di
ruang tamu. Kami mulai cemas dan perasaan takut mulai menghantui kami. Kami
memeriksa di dalam rumah gubuk itu dan berharap menemukan sesuatu sebagai
petunjuk.
Kami sudah memeriksa semua ruangan,
namun tidak menemukan siapapun bahkan perempuan dan suami-nya itu tidak ada.
Setelah beberapa menit kami memeriksa ruangan itu, kami mendengar suara
misterius itu kembali. Kali ini suara-nya berasal dari dapur belakang rumah.
Kami mencoba untuk menyelidiki suara
apa sebenarnya itu. Tapi, kami melihat sesuatu yang tidak seharusnya di lihat.
Aku melihat sosok besar dengan rambut putih panjang berantakan sedang mengasah
pisau daging yang masih berlumuran dengan darah.
Dan yang membuat kami lebih terkejut
adalah pakaian kimono sosok itu mirip dengan perempuan tadi. Sosok itu
tersenyum sembari menunjukkan taring-nya yang runcing. Dengan tertatih-tatih
dia membuka selimut putih yang berlumuran darah.
“kya-----“sebelum Ayumi berteriak aku
segera menutup mulut-nya dengan tangan-ku. Ya, kami melihat sebuah tubuh yang
sebagian sudah terpotong. Kami mengenal tubuh itu, dia adalah Toru! Sosok itu
memenggal beberapa bagian tubuh-nya dan mengelupas dada bagaikan sedang
memotong daging persembahan atau semacamnya.
Di sebelah-nya terbaring seseorang
lagi. Dan lagi-lagi kami mengenal lelaki itu, Tetsuo! Sosok itu mengayunkan
kapak dan memenggal kepala Tetsuo. Aku melihat, tubuh-nya kejang-kejang beberapa
saat dan akhirnya lemas kehabisan darah.
Aku segera menarik tangan Ayumi dan
berlari ke dalam desa. Seperti-nya sosok itu sedang sibuk dengan pekerjaan
memotong Toru dan Tetsuo. Akhirnya kami berhasil memasuki jalanan desa. Di
tengah kegelapan kami berlari menuju ke kui dimana pendeta desa tinggal.
Namun, kami tidak menemukan pendeta itu
dimanapun, hanya kuil yang sangat sepi dan berantakan. Di atas tanah, kami
menemukan pasak kayu dan papan yang tertulis “kuil Amarusa”. Melihat kondisi
papan itu dapat disimpulkan bahwa kuil itu sudah lama sekali di tinggalkan oleh
pemiliknya.
Jadi siapa yang menjamu kami tadi
siang? Di tengah-tengah kebingungan kami, seorang warga desa yang kami jumpai
di awal tadi menghampiri kami yang terpaku melihat kondisi kuil itu.
“kalau melihat kondisi kalian… , kalian
pasti bertemu langsung dengan Yamamba” kata lelaki itu.
Aku tidak bisa menjawab apapun atas
perkataan lelaki tadi. Aku dan Ayumi dibawa ke rumah-nya. Di sana dia
memberitahukan bahwa pendeta dan perempuan yang kami jumpai adalah Yamamba. Dia
sudah memperingati kami untuk segera pergi meninggalkan desa namun kami
menolak.
Semua pakaian dan perlengkapan kami
berada di rumah gubuk itu. Lelaki itu mengantarkan kami keesokan pagi-nya.
Ternyata di rumah lelaki itu merupakan kuil yang sekarang ini. Aku menyadari
ketika melewati rumah itu dan di belakang terdapat biara yang besar sekali.
Setelah hanya aku dan ayumi yang selamat, kami memutuskan untuk keluar dari
pekerjaan itu dan memulai kehidupan baru. Hingga saat ini kami masih belum
melupakan kejadian saat bertemu dengan Yamamba.
0 komentar:
Posting Komentar